-Pemohon Tambah Pasal KUHAP yang Diuji

preview_player
Показать описание
Sidang perbaikan permohonan uji materiil Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (29/1). Kuasa hukum Pemohon, Muhammad Sholeh menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan.
“Ada beberapa yang kita perbaiki. Pertama, terkait permohonan yang awalnya hanya Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), sekarang kita tambahi, yaitu Pasal 7 ayat (1) huruf d sepanjang kata ‘penahanan’. Juga kita tambahi pengujian Pasal 11 KUHAP sepanjang kalimat ‘kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik’. Ini terkait pasal-pasal yang dimohonkan,” jelas Muhammad Sholeh kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Selanjutnya, Pemohon mencantumkan bunyi Pasal 38 ayat (1) KUHAP, “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.” Selain itu, Pemohon pun menambah Pasal 38 ayat (2) KUHAP untuk diuji. Pasal tersebut menyatakan, “Dalam hal keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu tanpa mengurangi ketentuan ayat (1), penyidik dapat melakukan penyitaan hanya sebatas benda bergerak, dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memeroleh persetujuannya.”
“Bahwa yang menjadi pertanyaan adalah jika di dalam penyitaan yang dilakukan oleh penyidik, KUHAP memberikan sarana kontrol agar penyidik tidak berlaku sewenang-wenang. Kenapa dalam proses penahanan yang dilakukan oleh penyidik dan JPU, KUHAP tidak mewajibkan izin kepada ketua pengadilan? Itu artinya, permasalahan kewenangan penahanan yang diberikan oleh penyidik dan penuntut umum menjadi kewenangan yang absolut tanpa kontrol dari lembaga lain apa pun,” tegas Sholeh.
Sebagaimana diketahui, permohonan yang teregistrasi dengan nomor 4/PUU-XVI/2018 ini mempersoalkan kewenangan penahanan. Pemohon menguji Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Pasal 20 ayat (1) KUHAP berbunyi, “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.” Sedangkan Pasal 20 ayat (2) KUHAP menyatakan, “Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan”.
Sutarjo selaku Pemohon, mendalilkan bahwa bentuk perlindungan terhadap martabat seseorang salah satunya diwujudkan dengan adanya jaminan hak seseorang tidak boleh ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 9 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948. Menurut Pemohon, penahanan adalah perampasan kemerdekaan seseorang dan seharusnya pembentuk UU memberikan kontrol terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Jika seseorang tersangka koorperatif, tidak mempersulit penyidikan, tidak melarikan diri dalam penyidikan, penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap saja bisa melakukan penahanan. Faktanya, seringkali kewenangan penahanan menjadi sarana transaksional, tergantung dari penyidik maupun JPU menahan atau tidak terhadap tersangka. Bahwa tersangka tidak diberikan hak untuk membela diri agar tidak dilakukan penahanan.
Dalam setiap amar putusan pidana saat terdakwanya ditahan, selalu berbunyi menghukum terdakwa, misalnya dengan pidana penjara selama 1 tahun dikurangi masa penahanan. Jika terdakwa sudah menjalani penahanan 8 bulan, maka tinggal 2 bulan lagi jika putusan a quo sudah inkracht. Siapa yang bertanggung jawab jika terhadap terdakwa yang ditahan, ternyata diputus bebas oleh hakim, padahal Terdakwa sudah berbulan-bulan ditahan. (Nano Tresna Arfana/LA)
Рекомендации по теме