Kebudayaan di Era Teknologi Perasaan

preview_player
Показать описание
Kebudayaan di Era Teknologi Perasaan

Seperti apakah dunia ketika sastra, seni, dan aktivitas pemikiran digantikan oleh teknologi? Hari-hari ini teknologi artificial intelligence (AI) telah mampu menghasilkan berbagai jenis produk budaya, mulai dari puisi, novel, lukisan, hingga makalah filsafat. Bukan tidak mungkin di dunia masa depan teknologi akan berkembang lebih pesat lagi dan membuat berbagai sensasi keindahan dan kebahagiaan yang ingin kita capai lewat laku bersastra, berkesenian, dan berfilsafat, akan bisa dihasilkan secara instan. Bayangkan dunia ketika semua sensasi perasaan yang paling mendalam sekali pun dapat distimulasi lewat intervensi elektro-kimiawi. Dalam dunia semacam itu, apa makna berkebudayaan? Buat apa orang menulis novel jika kebahagiaan yang dihasilkan lewat aktivitas membaca novel dapat direproduksi secara kimiawi melalui suplemen obat-obatan? Buat apa bersusah payah menemukan kebenaran jika sensasi menemukan kebenaran yang paling sublim sudah bisa dirangsang lewat teknologi? Singkatnya, untuk apa bekerja dengan perantara (medium) jika hal yang mau dicari lewat perantara itu bisa dialami secara langsung? Novel terbaru saya, "Sebelum Hancur Lebur" (terbitan baNANA), mengupas aneka persoalan itu dalam bingkai cerita seorang penyair yang mendapat penglihatan gaib tentang dunia masa depan, dunia setelah hari kiamat. Simak cuplikan pembahasannya dalam video ini.

#bukubanana #sebelumhancurlebur #martinsuryajaya

Рекомендации по теме
Комментарии
Автор

Saya kira chanel ini udah tidak ada lagi.
Padahal chanel ini salah satu chanel favorit saya.

AI to AGI

ASK_QueStionSs
Автор

Maaf jatuhnya seperti ngoceh, tp ada komentar seperti ini yang ingin langsung saya balas dan kembangkan perihal topik video: "seni, bahkan sains akan melebur menjadi agama... semua hanya kepercayaan kecuali AI... karena dia bisa memutuskan apa yang kita inginkan, apa yang membuat kita bahagia, bahkan menjawab pertanyaan duniawi... jadi otomatis manusia lari ke mana? yap ke kepercayaan... lebih tepatnya apa yang dia percayai"

Rasanya ini pola yang ada dalam pembahasan-pembahasan revolusi teknologi; agak distopia.

Agama bukan sumber tunggal dari moralitas dan ekspresi manusia.

Menurut saya seni dan humaniora tidak akan mati walaupun dunia fisik sudah diketahui secara ekstensif. Keliatannya seni hanya akan berevolusi, layaknya lukisan vs foto. Saya yakin akan ada bentuk-bentuk seni (ekspresi kesadaran manusia) yang baru. Saya benar-benar percaya dengan argumen bahwa situasi ini mirip saat kalkulator pertama diperkenalkan. Semua takut matematikawan akan tergantikan, nyatanya tidak. Plafon/standar seorang matematikawan lah yang begitu terangkat.

Soal moralitas, saya condong ke sekolah pemikiran bahwa moralitas dapat diturunkan dari pemikiran rasional, obyektif, empiris. Jika tidak, akan selalu ada narasi-narasi arketipe/simbolis leluhur yang kemudian bisa mengingatkan kita bahwa "tujuan utama dari rasionalitas ini adalah kesejahteraan semua pengalaman hidup bentuk kesadaran mahluk karena begitu banyak filter yang bentuk kesadaran ini telah lalui."

Narasi arketipe/simbolis yang dimaksud seperti cerita Yesus yang mempengaruhi peradaban barat yang menjadi semacam kisah peringatan yang bisa ditarik polanya untuk mencakup kehidupan manusia umumnya. Atau di masa depan masing-masing clan mempunyai pedoman simbolisnya? Mungkin hasil penulisan otomatis legenda leluhur dalam clan, dalam garis keluarga, yang disesuaikan dengan karakter dan masalah hidup clan tersebut; dampak naiknya distribusi/desentralisasi kepintaran dan naiknya individualisme? Bagaimanapun itu saya percaya sekedar "Tuhan/mahluk berkuasa/orang ini perintahkan anda harus begini, laksanakanlah" tidak akan mempan untuk mendistilasi moralitas, dan kita tidak akan mencari-Nya. Kita akan lebih bergantung pada seni, ekspresi pengalaman hidup, mencari pola dari semua ekspresi-ekspresi itu. Seni dan humaniora saya rasa akan menjadi fokus utama manusia kedepannya. Mungkin itu juga maksud komentar di atas, tapi sekalianlah.

Kelihatannya, manusia secara kolektif tidak suka kalau tidak punya kendali. Mungkin berebut antar manusia sendiri, tapi kemungkinannya kecil kalau tidak ada satupun dari manusia yang punya kendali atas teknologi eksistensial ini. Saya sedikit optimis karena se-imoral apapun antagonis-antagonis manusia dalam sejarah, ego mereka tetap dipupuk, pengalaman kepuasan dipertahankan.

Perasaan bahagia/sedih/takut/jijik ada persis karena keterbatasan kita sebagai mahluk hidup. Kita mana mau mereplikasi utuh sesuatu yang sebegitu berharganya, sesuatu yang menjadi menurut saya inti dari kesadaaran. Walaupun ujung-ujungnya keterbatasan yang kita punya sama dengan keterbatasan "AI", untuk sampai ke sini kita melalui proses jutaan tahun yang sulit direplikasi. Manusia akan mengarahkan perhatiannya ke bagaimana manusia menjadi manusia yang benar-benar hidup, mungkin multi-planeter untuk mempertahankan bentuk kesadaran seperti milik kita ini sampai jauh di masa depan. Krn sejatinya harta karun kita adalah kesadaran yang uber langka ini. Ini merupakan fokus utama jangka yang lebih panjang lagi.

Kita pasti akan mempertahankannya dari berbagai ancaman (perasaan sintetis/kesadaran palsu). Apalagi saat kualitas hidup meningkat, saya berargumen bahwa yang semua orang mau adalah kepastian bahwa perasaan-perasaan dan kepuasan itu nyata. Semoga dari meningkatnya budaya ilmiah yang notabene empiris, kita juga terbentuk menjadi mahluk yang--ketika air matanya mengalir menatap mata dari ibu yang sedikit demi sedikit jiwanya mencari jalan keluar--akan murka ketika ini tidak benar-benar terjadi. Merasa dipermainkan. Layaknya robot yang diberi stimulus pengujian belaka. Perasaan-perasaan ini terlalu dalam dan signifikan untuk ini, terlebih jika stimulus-stimulus ini nihil asal-usul sebab-akibat, nihil maksud dan tujuan, 100% artifisial dan nihil dampak (karena untuk berdampak, kita harus yakin ini nyata). Saya percaya, jika memang mungkin secara ilmiah, perasaan sintetis akan dikriminalisasi.

Semakin mantapnya pemahaman kita tentang dunia fisik, semakin hal-hal metafisik lah yang akan berkembang (dan semakin tetap di dalam batasan dunia fisik).

Jika kalkulasi, matematika, kumpulan pemahaman manusia akan semesta merupakan lentera/mercusuar dalam gelap; asumsinya semakin kita tidak perlu menghitung, semakin kita bisa fokus di arah berlayar.

Mungkin iya karena kita ingin mempercepat segala proses, kita akan selalu mencari jalan pintas, dan semakin sedikit dari kita yang ingin mencari hal-hal yang benar, perasaan yang benar, kepuasan dan kesedihan yang benar. Sehingga selalu semacam ada interface/layer tambahan di atas ground truth untuk manusia, semakin fana, semakin kita membuat jaring-jaring yang mendekatkan kita dengan tanah ground truth. Daripada baca buku 500 halaman, mending nonton intisaru dan ulasannya. Daripada saya mengejar perbaikan diri yang kontinual yang menghasilkan kepuasan, mending saya mengejar kepuasan dari uang. Daripada mengalami pecahnya ombak dibebatuan, mending saya injeksi perasaan yang terbawa pengalaman itu. Semuanya jadi palsu dan fana.

Namun saya percaya betul bahwa pendulum agung akan membalikan keadaan dan kita akan mengejar semua yang organik ditengah-tengah kecemasan akan distopia antarmuka.

Maklum jika terlalu optimis, ini hanya pandangan dari seorang developer yang memang ekstatik dengan prospek ke depan. Terima kasih pembahasannya, akan diprapesan bukunya. Salam hangat dari Papua.

jindsh
Автор

Ketika manusia telah menjajal semua kemungkinannya, yang tersisa hanyalah kehampaan. Pelarian dari kehampaan akhirnya akan berjumpa kembali dengan kehampaan.

Adjingkrak
Автор

Mudah-mudahan Bung Martin masih terus menjadi guru filsafat berbahasa Indonesia di dunia maya, terus membina dan menyemarakkan festival filsafat, walau sendirian.

warsonohadisubroto
Автор

Mohon kepada Prof. Martin Surya Jaya untuk menjelaskan tentang ritual adat istiadat tentang leluhur orang mati bisa bicara.Secara Filsafat🙏🇹🇱

franciscomota
Автор

membaca buku dr kertas langsung jauh berbeda dr membaca buku by phone, tak henti²ny apresiasi kepada oenulis² buku, , atas kelebihan yg mereka miliki utk menulis, mampu mengajak perasaan pembaca utk ikut serta mengiyakan maksud penulis dengan penggambaran ke tokoh² dibuku, , ibarat JK membaca buku teruss beralih ke handphone ibarat harga konten di handphone masih kalah jauh dengan hal² yg disampaikan buku, sastra tak akan tergantikan oleh apapun sihh, pernah mencoba pura² memalingkan wajah dr buku, tetap saja harus kembali ke buku, karna buku adalah rumah bagi org yg ingin mencari kebijaksanaan, pencarian tak berujung, dalam hidup, hidup bagi penulis💪jaya teruss

ninirsiagian
Автор

Karakter Risdianto sangat fit menjadi Absurd Hero, tanpa harus memilih bunuh diri secara fisik atau filosofis melakukan lompatan 'iman' daripada jatuh kedalam lubang nihilsitik.

Absurd was a human sentiment, existing in man’s mind alone.

jaloerkirie
Автор

Akhirnya yang di tunggu selama ini datang juga
Sehat salalu🙏

wahyudimansyur
Автор

Terima kasih Bang Martin..
Terlalu lama Bang Martin mendiamkan kanal ini. Semoga kedepannya bisa kembali rutin, setidaknya satu video dalam sebulan.

ridwanmaulana
Автор

Novel ttg eksistensialisme. Jadi ingat istilah dr Zizek tentang "Decaffeinated Society". Bisa menikmati Kopi tnp harus menanggung resiko kafein. Jadinya Nihilisme.
Solusinya (mungkin) adalah menjadi Buddhist.

menantea
Автор

entah kenapa setelah mendengarnya, rasa haru & air mata kesedihan jadi ada

kmangshanty
Автор

Bang martin selalu kutunggu pembahasan pembahasannya. Semoga dilancarkan terus rezekinya, sukses terus

Nasukiazt
Автор

Jarang muncul, sekali muncul membawa kecemasan yang romantik, sehat terus pak

AVif_Family
Автор

saya bisa merasakan kegelisahan yang konkret dari Bung Martin dalam video ini

gregoriusprimus
Автор

bung martin sangat mencintai sastra indonesia ❤

maly
Автор

Seharusnya para pemikir itu paham, bahwa dunia itu berevolusi. Tadinya manusia cuma bisa berburu, di gantikan beternak. Tadinya kerajinan/agraris berubah menjadi industri, tadinya analog di ganti digital. bukan berarti old style itu di tinggalkan. Beberapa manusia msh ada yg suka hidup dengan cara legacy. Evolusi manusia dari selama ratusan ribu taun membuktikan klo manusia bisa beradaptasi sesuai jaman. Mental survival manusia itu telah terancang lebih baik.

foxhound_id
Автор

Bahkan jika kita menghabiskan banyak waktu di media sosial kita secara tak sadar kita sedang di pengaruhi oleh AI, itulah kenapa saat menggunakan sosmed diri kita di arahkan bukan diri kita yang mengarahkan diri kita sendiri seperti apa yg kita senangi

yusdarreals
Автор

kalo pendapat saya "seni, bahkan sains akan melebur menjadi agama... semua hanya kepercayaan kecuali AI... karena dia bisa memutuskan apa yang kita inginkan, apa yang membuat kita bahagia, bahkan menjawab pertanyaan duniawi... jadi otomatis manusia lari ke mana? yap ke kepercayaan... lebih tepatnya apa yang dia percayai

mazuna
Автор

Terimakasih sudah dibuatkan caption atau subtitle bahasa Indonesia.. supaya bisa saya baca karena terbiasa dengan baca aja sih

muhajir
Автор

Pas menit 9.15- 9.20 kaya film Equilibrium

kempohardyan