4 KASTA DALAM AGAMA HINDU DI BALI

preview_player
Показать описание
#agamahindu #literasikeluarga #edukasi #literasi #hits #viral #smkangkasa1halim #kasta #kastabrahmana #bali #pulaudewatabali #brahmana #sudra #ksatria #kastasudra #kastawaisya #kastabrahmana #waisya #ppkn #ips #belajar
Рекомендации по теме
Комментарии
Автор

DALAM AGAMA HINDU TIDAK DIKENAL ISTILAH KASTA

Oleh : Ardhana Wijaya Saputra

Di sini saya berbicara tentang agama Hindu, perihal penting yang harus diketahui dan diluruskan yaitu tentang kekeliruan Catur Warna dan Kasta. Agama Hindu sering dikaitkan dengan Kasta, padahal sesungguhnya Kasta tidak dikenal dalam ajaran Hindu, istilah Kasta yang selama ini dikenal dimasyarakat seperti Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra adalah bagian dari Catur Warna, bukan Kasta.

Dalam kitab suci Weda sama sekali tidak mengenal sistem Kasta dan tidak ada satu kalimat pun dalam Weda yang menulis kata Kasta. Catur Warna hanya didasarkan oleh kerja dan kualitas seseorang bukan berdasarkan kelahiran (keturunan) sebagaimana produk Kasta yang selama ini dilontarkan.

Kasta dalam Hindu merupakan kesalahpahaman berabad-abad. Walaupun didasari sebagai budaya salah kaprah, dan kekeliruan dalam penafsiran sistem Warna yang bersumber dari ajaran Weda, tetapi banyak pula yang berusaha untuk tetap melestarikan sistem Kasta ini dengan alasan melestarikan adat budaya dan agama, mereka mengungkapkan banyak alasan-alasan sebagai pembenaran.

Dalam Hindu tidak dikenal istilah "Kasta", itu penyimpangan (salah tafsir). Istilah yang termuat dalam kitab suci Weda adalah "Warna". Yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadarma (profesi) masing-masing orang. Berdasarkan pekerjaan bukan keturunan.

Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra (lahir dari rahim ibu). Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orang tuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Ksatria atau Waisya. Begitu pula kalau orang tuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana atau Ksatria atau Waisya. Begitu pula dengan Ksatria dan Waisya. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.

Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta, yang jauh berbeda dengan konsep Catur Warna. Penyimpangan ajaran Catur Warna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia.

Di dalam masyarakat Hindu dikenal dengan adanya sistem Warna, yaitu suatu sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi yang ditekuni, bakat dan keahlian yang dikuasai. Pada perkembangannya, sistem Warna dari agama Hindu ini sering diselewengkan oleh penguasa-penguasa feodal dan pengikut-pengikutnya untuk melanggengkan pengaruh politisnya dimasyarakat. Sistem Warna yang merupakan pengelompokan orang berdasarkan tugas dan kewajiban yang dijalankan di dalam kehidupan bermasyarakat berubah menjadi tingkatan-tingkatan yang membedakan derajat seseorang berdasarkan keturunan. Ide dasar dari sistem ini, yaitu pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi dan keahlian, sering atau bahkan terabaikan sama sekali. Tingkatan-tingkatan kelas inilah yang kemudian disebut dengan Kasta.

Kasta ini berbeda dengan sistem Warna yang bersumber dari Weda, sistem Kasta yang sering tersamarkan dengan keberadaan sistem Warna ini, adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Portugis yang berarti tembok pemisah. Yang berstruktur tinggi rendah (meninggikan dan merendahkan). Penerapan politik Devide Et Impera pada masa pendudukan Hindia-Belanda membuat sistem Kasta dalam masyarakat Hindu Bali menjadi semakin kuat dan bahkan menggeser pengertian sistem Warna yang asli.

"Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa kata "KASTA" tidaklah berasal dari bahasa Sanskerta (India) tetapi dari bahasa orang-orang Portugis "Casta" yang diambil dari bahasa latin "Castus". Yang ada sebenarnya dalam bahasa masyarakat Hindu menentukan golongan dalam masyarakat ialah kata "WARNA" yang berarti memilih dimana setiap orang berhak memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Dan lapangan pekerjaan inilah oleh masyarakat ditentukan apakah ia termasuk golongan Brahmana atau Ksatria atau Waisya ataukah Sudra."

Sistem Kasta manusia di buat oleh kaum penjajah untuk mempraktekkan politik pemecah belah (Devide Et Impera). Di India Kasta mulai ada semenjak kedatangan Portugis (Kerajaan Goa, India jatuh ke tangan Portugis tahun 1511). Kemudian setelah itu istilah Kasta mulai diperkenalkan di India dan sejak itu para misionaris masuk menyebarkan Kristen di India dengan pola mempelintirkan sistem "Warna" di India menjadi sistem Kasta.

Sedangkan Kasta di Bali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah (Devide Et Impera), Kasta dibuat dengan nama yang diambil dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana Kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalahan-kesalahan itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur "berkasta tinggi". Pada masyarakat Hindu di Bali terjadi polemik (pro dan kontra) dalam pemahaman Warna dan Kasta yang berkepanjangan.

Feodalisme dimasyarakat Hindu sendiri muncul dengan menyalah artikan konsep Catur Warna yang diungkapkan dalam kitab suci Weda. Weda sama sekali tidak mengenal sistem Kasta dan tidak ada satu kalimat pun dalam Weda yang menulis kata Kasta. Kasta lebih banyak dipergunakan sebagai alat politik tata negara agar kekuasaan bisa eksis dan langgeng dalam sistem monarki/kerajaan. Kasta berlaku pada zaman kerajaan dan semenjak negara kita berbentuk Republik "Kasta" seharusnya sudah tidak berlaku. Melainkan kembali kepada "Warna" sesuai ajaran Hindu.

Hindu Dresta Bali yang egaliter bukan yang menumbuhkan kembalinya spirit Feodalisme, Kasta mengagungkan diri sendiri dan lainnya. Biarlah itu menjadi bagian dari sisi gelap Bali di masa lampau. Sekarang jangan mau lagi dibodohi oleh sebagian oknum-oknum manusia yang mabuk akan Kasta, mengagungkan diri sendiri (menganggap diri sendiri berderajat tinggi dan menganggap yang lainnya berderajat rendah). Kasta itu berstruktur tinggi rendah (meninggikan dan merendahkan).

Kasta merupakan salah satu penyebab agama Hindu menjadi kerdil, padahal dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Kasta tidak ada dalam Weda dan karena pemahaman yang salah seolah-olah Hindu mengajarkan saling merendahkan antara sesama umat manusia. Inilah mengapa umat Hindu selalu tergerus oleh umat agama lain, terutama di India, Bali dan daerah lainnya di dunia. Kasta selalu dipakai senjata oleh umat agama lain untuk "mengkonversi" umat Hindu di manapun karena dianggap membeda-bedakan antara sesama umat manusia. Padahal sesungguhnya manusia itu sama dihadapan Tuhan.

Kalau kita mau jujur dan terbuka, sistem Kasta yang tidak adil ini bukan hanya bertentangan dengan falsafah negara Pancasila dan UUD 1945, tetapi sistem Kasta yang bukan merupakan sistem yang ada pada agama Hindu (kitab suci Weda), tentunya merupakan nista yang nantinya malah akan menodai nilai-nilai yang ada pada ajaran Hindu.

Persoalan yang kini menjadi masalah adalah jangan mengacaukan ajaran agama Hindu dengan menyimpangkan ajaran Catur Warna menjadi sistem Kasta. Kasta bukan bagian dari ajaran Hindu. Jangan samakan Catur Warna dengan Kasta. Kasta tidak sama dengan Catur Warna. Jangan ikut-ikutan mempelintir ajaran Veda, karena dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Kasta itu pembelokan dari Warna yang menempatkan atau penggolongan manusia berdasarkan pekerjaan, bukan keturunan. Tapi sistem Kasta dipertahankan yang merasa dapat keistimewaan dengan berbagai alasan. Sementara masyarakat awam memelihara juga dengan polos.

Kini saatnya umat Hindu harus sadar bahwa sebenarnya dalam Hindu tidak mengenal sistem Kasta, yang ada sebenarnya adalah Catur Warna. Sudah sepatutnya kita sebagai umat Hindu membuang jauh-jauh kata Kasta dari semua lilelatur buku yang ada, baik yang di dalam buku-buku pelajaran agama Hindu maupun buku-buku umum lainnya. Kita harus menyadari penyebutan Kasta itulah yang membuat sekat, pengkotaan yang dapat memecah belah umat, itu dulu yang dilakukan oleh kaum penjajah. Sekarang masa sudah zaman milenial, kita juga harus kembalikan ke yang sebenarnya. Umat Hindu harus membuka pengetahuan Weda agar tidak mudah dibodoh-bodohi. Saatnya generasi muda Hindu harus berani berbicara. Benar katakan benar. Salah katakan salah. Jangan takut mengungkapkan kebenaran (Dharma).

Jadi pembagian Catur Warna (Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra) ini tidaklah dimaksud untuk menentukan tinggi rendah derajatnya tetapi menurut kepentingan, fungsi dan kesanggupan golongan itu masing-masing. Pembagian ini sebenarnya tidak dimaksud mengagung-agungkan Brahmana atau merendahkan derajat Sudra hal ini hanya merupakan simbol belaka. berdasarkan pekerjaan bukan keturunan.

Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua manusia sama dihadapan Tuhan. Semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudaiva Kutumbakam).
Keturunan juga bisa menjadi kebanggaan seseorang. Namun kebanggaan yang berlebihan akan menimbulkan keangkuhan. Kesombongan akan keturunan sehingga akan merasa lebih tinggi dari orang lain. Orang yang mengagung-agungkan keturunan atau kebangsawanan sangatlah tidak baik, apalagi menganggap orang lain lebih rendah. Agama Hindu mengajarkan agar setiap orang saling menghormati dan saling menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhan sesuai dengan konsep Tat Twam Asi dan Vasudaiva Kutumbakam. Tuhan menilai seseorang bukan karena keturunan yang dinilai adalah Dharma bhakti dan yajnanya. Demikian pula yang terpenting adalah memiliki etika moral yang tinggi.

Satyam Eva Jayate.
Dharma Raksati Raksitah.

OM Shanti.

airlangga
Автор

Di jawa Oknum habib kasta tertinggi sampai kaki di cium2, pribumi dianggap kasta kls 2

yuuya
Автор

Ini namanya catur warna / profesi orang dalam sebuah pkrjaan. Bukann kasta ya. Supaya tidak salah pahammm!

gantari
Автор

Klo kasta bramane apa petulangan namanya nya ada yg tau?

putuweka
Автор

I Gusti itu kasta kesatria itu bukan kasta waisya

evamuldiastuti
Автор

brahmana
ksatria
waisya
sudra

ida
cokorda
agung
dewa
desak
gusti
sang
si
i/ni

sulinggih
pemangku
jero
guru
biang
jaba

madesukma
Автор

Itu salah bosku waisia itu yang desak atau dewa kalau Gusti tergolong di satria hampir sama dengan anak agung derajatnya

riongurah
Автор

Itu bukan kasta, dalam hindu tidak ada kasta tapi warna yg di sebut catur warna dalam kehiduppann manusia, catur warna adalah empat profesi dalam yg di pilih dalam hidup bermasyarakat, menjadi brahmana misalnya guru, pendeta,
Kesatrya misalnya menjadi prajurit, polisi, waisya misalnya pedagang dan petanii, terahir sudra yaitu sebagai buruh mislnya kuli bangunann dan buruh lainnya jdi jgn salah mengartikan kasta dengan catur warna! Kalau kasta itu adalah tingkat propesi yg di duduki pada saat jaman kerajaan dulu sehingga keturunannya berhak menggunakan nama2 trsbut misalnya anak agung, dewa, ida bagus, dan gusti, 🙏 jadi kalau ada yg menggunakan nama depanya anak agung, gusti dll berarti dahulu keluarganya adalah pengemban tugass di dalam kerajaann
🙏

gantari
Автор

Yang punya duit paling tinggi kasta nya wkwkwkwkkwk. Jaman sekarang masih bicarakan kasta

erysukarsa