filmov
tv
Sukitman Melihat Pembantai Para Jenderal Bergembira Ria di Lubang Buaya
Показать описание
Sukitman Melihat Pembantai Para Jenderal Bergembira Ria di Lubang Buaya
Ini sekelumit kesaksian dari Sukitman, Opsir polisi yang sempat dibawa gerombolan penculik G30S PKI yang menyatroni rumah Brigjen DI Panjaitan. Sukitman kemudian di bawa komplotan penculik DI Panjaitan, setelah mereka menembak mati jenderal bintang satu Angkatan Darat itu di halaman rumahnya serta membawa jenazah sang jenderal.
Di Lubang Buaya, Sukitman dengan mata kepala sendiri menyaksikan pemandangan yang mengerikan, ketika tiga jenderal yang berhasil diculik dalam keadaan hidup dibantai di sana bersama Lettu Pierre Tendean, Ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution yang disangka Nasution. Jenderal Nasution sendiri selamat dari upaya penculikan.
Dikutip dari buku, "Kunang Kunang Kebenaran di Langit Malam," setelah dengan mata kepala sendiri Sukitman melihat para jenderal yang masih hidup dibantai lalu dimasukan ke dalam sumur tua yang ada di Lubang Buaya, ia juga melihat orang yang di belakang hari ia ketahui sebagai Letnan Kolonel Untung Syamsuri, mengumpulkan para Komandan di salah satu tenda. Ada dialog sana, tapi ia tak bisa mendengarnya.
Beberapa menit kemudian, Untung terlihat ke luar dan pergi. Setelah itu terdengarlah pengumuman lewat radio bahwa para prajurit yang mendukung aksi G30S/PKI dipromosikan. Pangkat mereka naik satu tingkat. Sedangkan tentara-tentara yang terlibat secara aktif naik pangkat dua tingkat.
Sukitman melihat dan mendengar langsung, ketika para penculik para jenderal dan para sukarelawan yang hadir di Lubang Buaya bersorak-sorai gembira. Gerombolan-gerombolan orang yang mengitari sumur itu menari-nari senang. Mereka menjerit-jerit senang dan berseru-seru, “Sukses, sukses!"
Pada pagi itu, Sukitman juga sempat pula menyaksikan sebuah helikopter berputar-putar di atas tempat kejadian. Tetapi ia tak bisa mengenali pemilik helikopter itu karena hari masih terlalu gelap.
Sampai Jumat tanggal 1 Oktober sore, Sukitman berada di lokasi tersebut sebelum akhirnya oleh Lettu Dul Arif dan pasukan Pasopatinya ia digiring ke Halim. Pada malam Sabtu, kira-kira pukul 21.00, Kopral Iskak, sopir Dul Arif, membawanya ke luar. Sukitman sempat bertanya,”Mau dibawa ke mana saya?”
“Lubang Buaya," jawab Kopral Iskak.
Baru pada detik itulah Sukitman tahu bahwa nama tempat dirinya disekap adalah Lubang Buaya. Daerah itu penuh hutan karet. Sebenarnya Sukitman tidak asing dengan areal itu karena sebelumnya ia pernah mengikuti Sekolah Polisi Negara di Kramatjati Jakarta Timur.
Dengan hati cemas dan jantung berdetak kencang, Sukitman membayangkan kembali Lubang Buaya. Dalam pikirannya sempat berkecambuk kembali bayang-bayang seram tentang orang-orang yang ditembaki hingga terjungkal satu per satu atau bahkan berbarengan ke dalam sumur. Jangan-jangan ia akan bernasib sama dengan meteka? Jangan-jangan ia dibawa balik ke sana hanya untuk ditembak sampai mati?
Di bawah lalu-lalang pikiran yang tak karuan inilah Sukitman bergerak mengikuti Iskak. Tetapi sesampanya di sana, ia lega luar biasa. Ternyata tak ada peluru yang dilesakkan ke tubuhnya, tak ada eksekusi untuk mengakhiri hidupnya.
Sukitman hanya diminta Iskak membantu mengumpulkan nasi bungkus. Setelah itu, Sukitman dibawa kembali ke Halim. Ia melihat, nasi-nasi bungkus dari Lubang Buaya dibagi-bagikan kepada sepasukan tentara yang ada di Gedung Penas.
Sukitman kemudian digiring kembali ke tempatnya semula, ke cempat ia ditawan di Halim, sebuah lapangan bola dekat Kali Malang yang pada pintu masuknya terdapat tulisan “Pos Penjagaan PGT”.
Pada Sabtu siang, 2 Oktober, seluruh pasukan yang ia ikuti berlarian dan kabur entah ke mana. Sukitman mengetahui situasi yang kacau itu, tetapi ia tak ikut-ikutan meninggalkan tempat. Bukannya ia tak ingin meloloskan diri, ia sebetulnya ingin juga berlari. Namun masalahnya adalah, ia terlalu lelah untuk melakukannya. Seluruh badannya terasa lemah dan lunglai.
Sukitman pada akhirnya hanya bisa berbaring di kolong sebuah truk. Ia tidur-tiduran di situ. Serombongan tentara kemudian tiba di lapangan bola. Mereka menyuruhnya bangun. Mereka adalah pasukan Cakrabirawa yang berasal dari empat angkatan yakni dari matra laut, udara, darat dan kepolisian. Mereka mengenakan pita putih di lengan mereka.
Sukitman lantas oleh mereka bawa ke markas Tjakra atau yang kemudian jadi Gedung Bina Graha. Di tempat baru itu, sang agen polisi telah tersebut diperiksa dengan ketat dan saksama. Pada intinya, ia disuruh melaporkan semua kejadian dan peristiwa yang telah ia lihat dan alami. Sukitman lalu bertutur apa adanya. Semua hal ia ceritakan, tak ada satu potong pengalaman pun yang ia sembunyikan di depan pemeriksa.
Ini sekelumit kesaksian dari Sukitman, Opsir polisi yang sempat dibawa gerombolan penculik G30S PKI yang menyatroni rumah Brigjen DI Panjaitan. Sukitman kemudian di bawa komplotan penculik DI Panjaitan, setelah mereka menembak mati jenderal bintang satu Angkatan Darat itu di halaman rumahnya serta membawa jenazah sang jenderal.
Di Lubang Buaya, Sukitman dengan mata kepala sendiri menyaksikan pemandangan yang mengerikan, ketika tiga jenderal yang berhasil diculik dalam keadaan hidup dibantai di sana bersama Lettu Pierre Tendean, Ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution yang disangka Nasution. Jenderal Nasution sendiri selamat dari upaya penculikan.
Dikutip dari buku, "Kunang Kunang Kebenaran di Langit Malam," setelah dengan mata kepala sendiri Sukitman melihat para jenderal yang masih hidup dibantai lalu dimasukan ke dalam sumur tua yang ada di Lubang Buaya, ia juga melihat orang yang di belakang hari ia ketahui sebagai Letnan Kolonel Untung Syamsuri, mengumpulkan para Komandan di salah satu tenda. Ada dialog sana, tapi ia tak bisa mendengarnya.
Beberapa menit kemudian, Untung terlihat ke luar dan pergi. Setelah itu terdengarlah pengumuman lewat radio bahwa para prajurit yang mendukung aksi G30S/PKI dipromosikan. Pangkat mereka naik satu tingkat. Sedangkan tentara-tentara yang terlibat secara aktif naik pangkat dua tingkat.
Sukitman melihat dan mendengar langsung, ketika para penculik para jenderal dan para sukarelawan yang hadir di Lubang Buaya bersorak-sorai gembira. Gerombolan-gerombolan orang yang mengitari sumur itu menari-nari senang. Mereka menjerit-jerit senang dan berseru-seru, “Sukses, sukses!"
Pada pagi itu, Sukitman juga sempat pula menyaksikan sebuah helikopter berputar-putar di atas tempat kejadian. Tetapi ia tak bisa mengenali pemilik helikopter itu karena hari masih terlalu gelap.
Sampai Jumat tanggal 1 Oktober sore, Sukitman berada di lokasi tersebut sebelum akhirnya oleh Lettu Dul Arif dan pasukan Pasopatinya ia digiring ke Halim. Pada malam Sabtu, kira-kira pukul 21.00, Kopral Iskak, sopir Dul Arif, membawanya ke luar. Sukitman sempat bertanya,”Mau dibawa ke mana saya?”
“Lubang Buaya," jawab Kopral Iskak.
Baru pada detik itulah Sukitman tahu bahwa nama tempat dirinya disekap adalah Lubang Buaya. Daerah itu penuh hutan karet. Sebenarnya Sukitman tidak asing dengan areal itu karena sebelumnya ia pernah mengikuti Sekolah Polisi Negara di Kramatjati Jakarta Timur.
Dengan hati cemas dan jantung berdetak kencang, Sukitman membayangkan kembali Lubang Buaya. Dalam pikirannya sempat berkecambuk kembali bayang-bayang seram tentang orang-orang yang ditembaki hingga terjungkal satu per satu atau bahkan berbarengan ke dalam sumur. Jangan-jangan ia akan bernasib sama dengan meteka? Jangan-jangan ia dibawa balik ke sana hanya untuk ditembak sampai mati?
Di bawah lalu-lalang pikiran yang tak karuan inilah Sukitman bergerak mengikuti Iskak. Tetapi sesampanya di sana, ia lega luar biasa. Ternyata tak ada peluru yang dilesakkan ke tubuhnya, tak ada eksekusi untuk mengakhiri hidupnya.
Sukitman hanya diminta Iskak membantu mengumpulkan nasi bungkus. Setelah itu, Sukitman dibawa kembali ke Halim. Ia melihat, nasi-nasi bungkus dari Lubang Buaya dibagi-bagikan kepada sepasukan tentara yang ada di Gedung Penas.
Sukitman kemudian digiring kembali ke tempatnya semula, ke cempat ia ditawan di Halim, sebuah lapangan bola dekat Kali Malang yang pada pintu masuknya terdapat tulisan “Pos Penjagaan PGT”.
Pada Sabtu siang, 2 Oktober, seluruh pasukan yang ia ikuti berlarian dan kabur entah ke mana. Sukitman mengetahui situasi yang kacau itu, tetapi ia tak ikut-ikutan meninggalkan tempat. Bukannya ia tak ingin meloloskan diri, ia sebetulnya ingin juga berlari. Namun masalahnya adalah, ia terlalu lelah untuk melakukannya. Seluruh badannya terasa lemah dan lunglai.
Sukitman pada akhirnya hanya bisa berbaring di kolong sebuah truk. Ia tidur-tiduran di situ. Serombongan tentara kemudian tiba di lapangan bola. Mereka menyuruhnya bangun. Mereka adalah pasukan Cakrabirawa yang berasal dari empat angkatan yakni dari matra laut, udara, darat dan kepolisian. Mereka mengenakan pita putih di lengan mereka.
Sukitman lantas oleh mereka bawa ke markas Tjakra atau yang kemudian jadi Gedung Bina Graha. Di tempat baru itu, sang agen polisi telah tersebut diperiksa dengan ketat dan saksama. Pada intinya, ia disuruh melaporkan semua kejadian dan peristiwa yang telah ia lihat dan alami. Sukitman lalu bertutur apa adanya. Semua hal ia ceritakan, tak ada satu potong pengalaman pun yang ia sembunyikan di depan pemeriksa.
Комментарии