filmov
tv
GENDER DAN TRANSGENDER (PERSPEKTIF JUDITH BUTLER)
Показать описание
Dalam konteks pemikiran Judith Butler, merujuk pada buku Gender Trouble, teori queer berangkat dari ide bahwa identitas merupakan suatu free-floating, berkaitan dengan tindak performatif individu dan tidak berkaitan dengan suatu esensi (jika ada) dalam diri individu tersebut. Karena identitas itu pada hakikatnya bersifat cair, maka Butler menolak prinsip identitas yang memiliki awal dan akhir. Butler juga menolak pandangan bahwa seks (male/female) sebagai penentu dari gender (masculine/feminine), dan gender sebagai penentu sexual orientation. Identitas tidak berhubungan dengan seks atau pun gender. Identitas diperoleh dari tindakan performative, yang selalu berubah-ubah. Inilah yang disebut Butler sebagai identitas manusia tidak pernah stabil. Dari sini dapat dimengerti bahwa dalam pandangan Butler, sah-sah saja bila seseorang memiliki identitas maskulin di satu waktu dan identitas feminim di waktu lain. Demikian pula dengan male feminine atau female masculine. Hal ini tentu berpengaruh pula pada persoalan orientasi seksual. Jika identitas seksual seseorang tidak final, tidak stabil, seharusnya tidak ada keharusan seorang perempuan menyukai pria dan sebaliknya.
Inti pemikiran Butler tentang ketercairan identitas adalah tidak adanya kondisi alamiah bagi manusia selain penampakan tubuhnya. Seks, gender, maupun orientasi seksual adalah konstruksi sosial. Hal ini dapat dicontohkan melalui fenomena trans-seksual. Seorang yang telah melakukan transeksual, yang diasumsikan telah ‘merubah’ kondisi alamiahnya, misalnya seorang pria yang merasa beridentitas feminim, mengubah jenis seksnya menjadi tubuh perempuan, adalah bentuk kongkret bahwa identitas memang tidak alamiah. Pertanyaannya adalah, setelah seks sebagai fakta biologis tersebut diubah menjadi yang sebaliknya, bukankah perubahan ini menentukan keabsahan dari individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan ketentuan the fixed rules atas seks, gender, dan orientasi seksual.
Maka, di sini telah jelas, bagi Butler, baik seks, gender, maupun orientasi seksual adalah sesuatu yang sifatnya cair, tidak alamiah, dan berubah-ubah. Oleh karenanya, bagi Butler, LGBT bukanlah suatu penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas manusia yang didasarkan pada tindakan performatif. Maksud dari tindakan performatif adalah identitas sexual datang belakangan setelah individu melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam paradigma heteroseksualitas, gender hadir terlebih dahulu, kemudian menentukan tindakan-tindakan manusia. Bagaimana seseorang berbicara, berjalan, berpikir, dan bagaimana seseorang mencintai, telah diatur sejak awal oleh gender. Misalnya, mengapa perempuan cenderung memilih memasak, dari pada mencangkul; atau mengapa perempuan cenderung menggunakan rok dari pada celana panjang; perempuan memasak dan memaki rok adalah tindakan yang didasarkan bahwa dia adalah perempuan dan laki-laki mencangkul dan bercelana panjang adalah karena dia laki-laki. Singkatnya semua tindakan ini diarahkan oleh gender. Namun dalam paradigma queer theory, dalam hal ini pemikiran Butler, gender atau identitas seksual hadir belakangan setelah individu melakukan tindakan performative.
Inti pemikiran Butler tentang ketercairan identitas adalah tidak adanya kondisi alamiah bagi manusia selain penampakan tubuhnya. Seks, gender, maupun orientasi seksual adalah konstruksi sosial. Hal ini dapat dicontohkan melalui fenomena trans-seksual. Seorang yang telah melakukan transeksual, yang diasumsikan telah ‘merubah’ kondisi alamiahnya, misalnya seorang pria yang merasa beridentitas feminim, mengubah jenis seksnya menjadi tubuh perempuan, adalah bentuk kongkret bahwa identitas memang tidak alamiah. Pertanyaannya adalah, setelah seks sebagai fakta biologis tersebut diubah menjadi yang sebaliknya, bukankah perubahan ini menentukan keabsahan dari individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan ketentuan the fixed rules atas seks, gender, dan orientasi seksual.
Maka, di sini telah jelas, bagi Butler, baik seks, gender, maupun orientasi seksual adalah sesuatu yang sifatnya cair, tidak alamiah, dan berubah-ubah. Oleh karenanya, bagi Butler, LGBT bukanlah suatu penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas manusia yang didasarkan pada tindakan performatif. Maksud dari tindakan performatif adalah identitas sexual datang belakangan setelah individu melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam paradigma heteroseksualitas, gender hadir terlebih dahulu, kemudian menentukan tindakan-tindakan manusia. Bagaimana seseorang berbicara, berjalan, berpikir, dan bagaimana seseorang mencintai, telah diatur sejak awal oleh gender. Misalnya, mengapa perempuan cenderung memilih memasak, dari pada mencangkul; atau mengapa perempuan cenderung menggunakan rok dari pada celana panjang; perempuan memasak dan memaki rok adalah tindakan yang didasarkan bahwa dia adalah perempuan dan laki-laki mencangkul dan bercelana panjang adalah karena dia laki-laki. Singkatnya semua tindakan ini diarahkan oleh gender. Namun dalam paradigma queer theory, dalam hal ini pemikiran Butler, gender atau identitas seksual hadir belakangan setelah individu melakukan tindakan performative.
Комментарии