filmov
tv
🔴LIVE: Kecam Isu Penjegalan, Gatot Nurmantyo Ungkap Dampak Jika Anies Gagal Ikut Pilpres 2024
Показать описание
TRIBUN-VIDEO.COM - Isu penjegalan Anies Baswedan pada Pilpres 2024 mendapat sorotan dari Mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo.
Menurut Gatot, apabila isu yang beredar benar adanya, maka bisa menimbulkan dampak yang fatal.
Bahkan ia menyebut persatuan dan kesatuan bangsa bisa goyah karena hal itu.
Oleh karena itu, Gatot meminta untuk tidak gegabah.
"Saya yakin orang yang paham dengan politik tidak berani," kata Gatot di Aljazeerah Restaurant dan Function Hall, Jakarta Timur, Rabu (21/6/2023).
"Mengapa? Karena kalau yang maju hanya dari rezim, Menteri Pertahanan dan Gubernur Jawa Tengah, berarti kaum oposisi tak terwakili, sangat berbahaya," imbuhnya.
Dia menegaskan bahwa pernyataan itu bukan merupakan kampanye, melainkan sebuah teori.
Menurut Gatot, jika dua tokoh tersebut yang melenggang di kontestasi Pilpres 2024, Indonesia akan mengalami kesulitan.
"Kita akan mengalami hal yang sulit karena demokrasi di mana pun di dunia pasti antara rezim itu bermasalah, besar kecilnya tergantung disiplin atau tidak berdemokrasi," katanya.
Di mana menurutnya, kesulitan itu bagaimana oposisi berperan sebagai pengontrol.
Semakin demokrasi dikriminalisasi, maka akan semakin besar pula oposisi.
"Saya yakin elit-elit politik tidak berani melakukan ini, karena akan bermasalah terus sepanjang perjalanan bangsa ini, karena tidak mungkin yang kecil mengkooptasi yang besar," ucap Gatot.
Ia lantas menyinggung hasil poling generasi milenial yang menyatakan sebanyak 60 persen apatis terhadap pemerintah.
Oleh karena itu jika setengahnya dari 30 persen tidak memilih, maka siapapun yang akan menjadi presiden ia tak akan memiliki legalitas.
"Kalau 60 persen tarolah setengahnya dari 30 persen tidak memilih, maka siapapun yang jadi presiden dia tidak memiliki legalitas," tegasnya.
"Maka pemilihan presiden, gubernur, bupati semuanya satu jadi mayoritas," imbuhnya.
Padahal, kata dia, legitimasi suatu negara yang berdasarkan demokrasi tergantung pada legitimasi dari rakyat yang mayoritas.
Jika legitimasi ditarik oleh minoritas, maka demokrasi tak akan berjalan dan justru akan sibuk dengan berbagai kekacauan.
Ia menuturkan hal itu terjadi lantaran sekecil apapun program yang dilakukan oleh pemerintah terkait demokrasi, harus mendapat legalitas dari mayoritas.
Gatot menyebut partisipasi suara kaum milenial turut berperan dalam memberikan legalitas.
"Sangat berbahaya kalau partisipasi para kaum milenial yang 60 persen ini dalam pemilu sangat minim, berarti legalitas siapapun yang menang tidakakan kuat," pungkas Gatot.
Sementara itu, secara terpisah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengingatkan jajarannya untuk menjaga stabilitas keamanan ketertiban masyarakat (kamtibmas) selama Pemilu 2024.
Kapolri berharap polarisasi masyarakat selama Pemilu 2019 tidak kembali terulang di tahun depan.
Ia pun menggambarkan situasi selama Pemilu 2019.
Listyo Sigit mencontohkan, saat itu muncul kelompok-kelompok dengan istilah kampret, kadrun hingga cebong.
"Mungkin kalau rekan-rekan melihat di medsos (media sosial) ada cebong, ada kampret, ada kadrun. Terus, sekarang apa lagi? Jadi itu terus terjadi di grassroot. Mungkin di elite itu segera mudah, hari ini berantem, besok salaman, rangkul-rangkulan, tapi di bawah tidak," kata Listyo Sigit dalam Upacara Wisuda STIK Tahun 2023, Rabu (21/6/2023), seperti dikutip dari kanal YouTube Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian.
Menurutnya, awal sebelum Pemilu 2019, Indonesia menjadi negara dengan polarisasi paling rendah di Asia Tenggara.
Tetapi, setelah Pemilu 2019, polarisasi masih terasa.
Hal tersebut, kata Listyo Sigit, membuat nilai-nilai positif di masyarakat mulai luntur.
Padahal, masyarakat Indonesia terkenal ramah, persaudaraannya tinggi, menghormati keberagaman, menjaga keberagaman, serta menjaga persatuan dan kesatuan.
"Sehingga di Pemilu 2024 ini, saya harapkan yang terjadi di tahun 2019 bisa kita tekan," ujarnya.
Menurut Gatot, apabila isu yang beredar benar adanya, maka bisa menimbulkan dampak yang fatal.
Bahkan ia menyebut persatuan dan kesatuan bangsa bisa goyah karena hal itu.
Oleh karena itu, Gatot meminta untuk tidak gegabah.
"Saya yakin orang yang paham dengan politik tidak berani," kata Gatot di Aljazeerah Restaurant dan Function Hall, Jakarta Timur, Rabu (21/6/2023).
"Mengapa? Karena kalau yang maju hanya dari rezim, Menteri Pertahanan dan Gubernur Jawa Tengah, berarti kaum oposisi tak terwakili, sangat berbahaya," imbuhnya.
Dia menegaskan bahwa pernyataan itu bukan merupakan kampanye, melainkan sebuah teori.
Menurut Gatot, jika dua tokoh tersebut yang melenggang di kontestasi Pilpres 2024, Indonesia akan mengalami kesulitan.
"Kita akan mengalami hal yang sulit karena demokrasi di mana pun di dunia pasti antara rezim itu bermasalah, besar kecilnya tergantung disiplin atau tidak berdemokrasi," katanya.
Di mana menurutnya, kesulitan itu bagaimana oposisi berperan sebagai pengontrol.
Semakin demokrasi dikriminalisasi, maka akan semakin besar pula oposisi.
"Saya yakin elit-elit politik tidak berani melakukan ini, karena akan bermasalah terus sepanjang perjalanan bangsa ini, karena tidak mungkin yang kecil mengkooptasi yang besar," ucap Gatot.
Ia lantas menyinggung hasil poling generasi milenial yang menyatakan sebanyak 60 persen apatis terhadap pemerintah.
Oleh karena itu jika setengahnya dari 30 persen tidak memilih, maka siapapun yang akan menjadi presiden ia tak akan memiliki legalitas.
"Kalau 60 persen tarolah setengahnya dari 30 persen tidak memilih, maka siapapun yang jadi presiden dia tidak memiliki legalitas," tegasnya.
"Maka pemilihan presiden, gubernur, bupati semuanya satu jadi mayoritas," imbuhnya.
Padahal, kata dia, legitimasi suatu negara yang berdasarkan demokrasi tergantung pada legitimasi dari rakyat yang mayoritas.
Jika legitimasi ditarik oleh minoritas, maka demokrasi tak akan berjalan dan justru akan sibuk dengan berbagai kekacauan.
Ia menuturkan hal itu terjadi lantaran sekecil apapun program yang dilakukan oleh pemerintah terkait demokrasi, harus mendapat legalitas dari mayoritas.
Gatot menyebut partisipasi suara kaum milenial turut berperan dalam memberikan legalitas.
"Sangat berbahaya kalau partisipasi para kaum milenial yang 60 persen ini dalam pemilu sangat minim, berarti legalitas siapapun yang menang tidakakan kuat," pungkas Gatot.
Sementara itu, secara terpisah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengingatkan jajarannya untuk menjaga stabilitas keamanan ketertiban masyarakat (kamtibmas) selama Pemilu 2024.
Kapolri berharap polarisasi masyarakat selama Pemilu 2019 tidak kembali terulang di tahun depan.
Ia pun menggambarkan situasi selama Pemilu 2019.
Listyo Sigit mencontohkan, saat itu muncul kelompok-kelompok dengan istilah kampret, kadrun hingga cebong.
"Mungkin kalau rekan-rekan melihat di medsos (media sosial) ada cebong, ada kampret, ada kadrun. Terus, sekarang apa lagi? Jadi itu terus terjadi di grassroot. Mungkin di elite itu segera mudah, hari ini berantem, besok salaman, rangkul-rangkulan, tapi di bawah tidak," kata Listyo Sigit dalam Upacara Wisuda STIK Tahun 2023, Rabu (21/6/2023), seperti dikutip dari kanal YouTube Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian.
Menurutnya, awal sebelum Pemilu 2019, Indonesia menjadi negara dengan polarisasi paling rendah di Asia Tenggara.
Tetapi, setelah Pemilu 2019, polarisasi masih terasa.
Hal tersebut, kata Listyo Sigit, membuat nilai-nilai positif di masyarakat mulai luntur.
Padahal, masyarakat Indonesia terkenal ramah, persaudaraannya tinggi, menghormati keberagaman, menjaga keberagaman, serta menjaga persatuan dan kesatuan.
"Sehingga di Pemilu 2024 ini, saya harapkan yang terjadi di tahun 2019 bisa kita tekan," ujarnya.
Комментарии