filmov
tv
Black Myth: Wukong Yaoguai Itu Siluman

Показать описание
Ada yang menarik dan sedikit mengganggu dari cerita yang tersirat dalam game Black Myth: Wukong, khususnya di animasi ending chapter 2. Di sini, kita diperlihatkan sebuah kisah yang tampak sederhana namun memiliki makna yang cukup dalam dan bisa membuat kita berpikir tentang pesan yang ingin disampaikan oleh para pembuat game.
Ceritanya dimulai ketika ada seorang pria yang menemukan seekor rubah terluka di hutan. Dengan belas kasih, pria tersebut membawa rubah itu pulang dan merawatnya. Namun, di suatu malam, pria itu bermimpi. Dalam mimpinya, rubah tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Dia dan wanita itu kemudian menikah, memiliki anak, cucu, dan menjalani hidup yang bahagia selama bertahun-tahun. Tapi suatu hari, wanita itu kembali ke wujud aslinya sebagai rubah dan mulai membantai seluruh keluarganya. Sebuah twist yang cukup mengejutkan, bukan?
Ketika pria itu terbangun dari mimpi buruknya, dia merasa ketakutan dan bingung. Dia memutuskan untuk membunuh rubah yang telah dia selamatkan dan menjadikannya mantel. Di momen ini, muncul sosok Boddhisatva Lingji, seorang tokoh spiritual dalam cerita tersebut, yang berkata bahwa manusia dan binatang buas memiliki jalan hidup yang berbeda. Lingji mengingatkan bahwa yaoguai atau siluman tetaplah siluman. Tidak peduli seberapa baik atau beradab mereka terlihat, sifat bar-bar mereka tetap tidak bisa dihilangkan.
Ini adalah pesan yang cukup berbeda jika kita bandingkan dengan ajaran Buddha pada umumnya, di mana semua makhluk dianggap setara, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Semua makhluk hidup memiliki potensi untuk mencapai pencerahan. Namun, dalam konteks cerita ini, Boddhisatva Lingji menekankan bahwa Wukong, sebagai yaoguai, harus tunduk pada takdirnya sebagai makhluk yang berada di bawah para dewa dan Buddha. Statusnya sebagai siluman kera tetap membuatnya lebih rendah dalam hirarki kosmik ini.
Black Myth: Wukong Kamu mungkin ingat, prinsip ini tercermin dalam kisah Sun Wukong sendiri. Meski dia memiliki kekuatan luar biasa dan ingin kebebasan, pada akhirnya, dia tetap dibelenggu. Dia tidak diizinkan untuk bebas sepenuhnya karena dia adalah siluman. Hal ini barangkali bisa menjelaskan mengapa Wukong masih memiliki mahkota emas meskipun dia sudah menjadi Buddha. Mahkota tersebut berfungsi seperti rantai, simbol bahwa dia masih dikontrol dan dibatasi seperti hewan yang tidak boleh berkeliaran sesuka hati.
Walaupun Sun Wukong sudah menjadi sosok yang bijak dan lebih dewasa setelah banyak mengalami petualangan dan penderitaan, para dewa tetap memandangnya sebagai siluman. Siluman akan selalu dianggap sebagai makhluk yang lebih rendah, tidak peduli seberapa jauh mereka berkembang. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa mungkin para dewa dan Buddha dalam cerita ini juga memiliki agenda terselubung, atau mungkin mereka sendiri adalah siluman yang menyamar. Pasalnya, konsep yang mereka pegang tampaknya sudah menyimpang jauh dari ajaran kesetaraan yang seharusnya berlaku dalam ajaran Buddha.
Dalam konteks Black Myth: Wukong, pesan ini membuka ruang interpretasi yang menarik. Apakah benar para dewa dan Buddha di alam semesta ini memang makhluk yang lebih tinggi? Ataukah mereka hanya menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan dan mengendalikan makhluk lain, seperti Sun Wukong? Dan jika ya, apakah ini berarti bahwa hierarki dalam dunia tersebut hanya sebuah ilusi yang diciptakan untuk mempertahankan status quo?
Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan salah satu tema besar dalam banyak cerita mitologi Tiongkok, termasuk Journey to the West, di mana Sun Wukong berasal. Tema tersebut adalah pertarungan melawan nasib dan takdir, serta upaya untuk membebaskan diri dari belenggu yang dipaksakan oleh kekuatan yang lebih tinggi. Namun, di sini, Wukong tampaknya tidak pernah bisa sepenuhnya bebas. Dia selalu diikat oleh statusnya sebagai yaoguai, sama seperti rubah dalam mimpi pria tadi, yang meskipun terlihat seperti manusia, pada akhirnya tetap kembali menjadi makhluk buas.
Ini bisa menjadi salah satu pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh game ini. Bahwa meskipun kita berusaha keras untuk mengubah nasib kita, ada kekuatan yang lebih besar yang terus mencoba menempatkan kita di posisi yang mereka anggap layak. Dan bagi Wukong, posisi itu adalah sebagai siluman, makhluk yang tidak akan pernah setara dengan para dewa, tidak peduli seberapa bijaksana atau kuat dirinya.
Game ini, melalui cerita-ceritanya yang rumit, berhasil menyampaikan pesan tentang ketidaksetaraan, kekuasaan, dan nasib dengan cara yang memancing pemikiran. Mungkin inilah yang membuat Black Myth: Wukong begitu menarik bagi para pemain yang menyukai narasi mendalam.
Ceritanya dimulai ketika ada seorang pria yang menemukan seekor rubah terluka di hutan. Dengan belas kasih, pria tersebut membawa rubah itu pulang dan merawatnya. Namun, di suatu malam, pria itu bermimpi. Dalam mimpinya, rubah tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Dia dan wanita itu kemudian menikah, memiliki anak, cucu, dan menjalani hidup yang bahagia selama bertahun-tahun. Tapi suatu hari, wanita itu kembali ke wujud aslinya sebagai rubah dan mulai membantai seluruh keluarganya. Sebuah twist yang cukup mengejutkan, bukan?
Ketika pria itu terbangun dari mimpi buruknya, dia merasa ketakutan dan bingung. Dia memutuskan untuk membunuh rubah yang telah dia selamatkan dan menjadikannya mantel. Di momen ini, muncul sosok Boddhisatva Lingji, seorang tokoh spiritual dalam cerita tersebut, yang berkata bahwa manusia dan binatang buas memiliki jalan hidup yang berbeda. Lingji mengingatkan bahwa yaoguai atau siluman tetaplah siluman. Tidak peduli seberapa baik atau beradab mereka terlihat, sifat bar-bar mereka tetap tidak bisa dihilangkan.
Ini adalah pesan yang cukup berbeda jika kita bandingkan dengan ajaran Buddha pada umumnya, di mana semua makhluk dianggap setara, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Semua makhluk hidup memiliki potensi untuk mencapai pencerahan. Namun, dalam konteks cerita ini, Boddhisatva Lingji menekankan bahwa Wukong, sebagai yaoguai, harus tunduk pada takdirnya sebagai makhluk yang berada di bawah para dewa dan Buddha. Statusnya sebagai siluman kera tetap membuatnya lebih rendah dalam hirarki kosmik ini.
Black Myth: Wukong Kamu mungkin ingat, prinsip ini tercermin dalam kisah Sun Wukong sendiri. Meski dia memiliki kekuatan luar biasa dan ingin kebebasan, pada akhirnya, dia tetap dibelenggu. Dia tidak diizinkan untuk bebas sepenuhnya karena dia adalah siluman. Hal ini barangkali bisa menjelaskan mengapa Wukong masih memiliki mahkota emas meskipun dia sudah menjadi Buddha. Mahkota tersebut berfungsi seperti rantai, simbol bahwa dia masih dikontrol dan dibatasi seperti hewan yang tidak boleh berkeliaran sesuka hati.
Walaupun Sun Wukong sudah menjadi sosok yang bijak dan lebih dewasa setelah banyak mengalami petualangan dan penderitaan, para dewa tetap memandangnya sebagai siluman. Siluman akan selalu dianggap sebagai makhluk yang lebih rendah, tidak peduli seberapa jauh mereka berkembang. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa mungkin para dewa dan Buddha dalam cerita ini juga memiliki agenda terselubung, atau mungkin mereka sendiri adalah siluman yang menyamar. Pasalnya, konsep yang mereka pegang tampaknya sudah menyimpang jauh dari ajaran kesetaraan yang seharusnya berlaku dalam ajaran Buddha.
Dalam konteks Black Myth: Wukong, pesan ini membuka ruang interpretasi yang menarik. Apakah benar para dewa dan Buddha di alam semesta ini memang makhluk yang lebih tinggi? Ataukah mereka hanya menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan dan mengendalikan makhluk lain, seperti Sun Wukong? Dan jika ya, apakah ini berarti bahwa hierarki dalam dunia tersebut hanya sebuah ilusi yang diciptakan untuk mempertahankan status quo?
Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan salah satu tema besar dalam banyak cerita mitologi Tiongkok, termasuk Journey to the West, di mana Sun Wukong berasal. Tema tersebut adalah pertarungan melawan nasib dan takdir, serta upaya untuk membebaskan diri dari belenggu yang dipaksakan oleh kekuatan yang lebih tinggi. Namun, di sini, Wukong tampaknya tidak pernah bisa sepenuhnya bebas. Dia selalu diikat oleh statusnya sebagai yaoguai, sama seperti rubah dalam mimpi pria tadi, yang meskipun terlihat seperti manusia, pada akhirnya tetap kembali menjadi makhluk buas.
Ini bisa menjadi salah satu pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh game ini. Bahwa meskipun kita berusaha keras untuk mengubah nasib kita, ada kekuatan yang lebih besar yang terus mencoba menempatkan kita di posisi yang mereka anggap layak. Dan bagi Wukong, posisi itu adalah sebagai siluman, makhluk yang tidak akan pernah setara dengan para dewa, tidak peduli seberapa bijaksana atau kuat dirinya.
Game ini, melalui cerita-ceritanya yang rumit, berhasil menyampaikan pesan tentang ketidaksetaraan, kekuasaan, dan nasib dengan cara yang memancing pemikiran. Mungkin inilah yang membuat Black Myth: Wukong begitu menarik bagi para pemain yang menyukai narasi mendalam.
Комментарии