Jejak Keluarga Datu Kalampayan Hingga Guru Syurgi Mufti - Jejak Sang Guru #8

preview_player
Показать описание
BANJARMASINPOST.CO.ID - Sebelum bulan puasa, cukup banyak masyarakat yang ziarah ke makam Syekh Jamaluddin Al-Banjari atau biasa disebut Tuan Guru Surgi Mufti di kawasan Sungai Jingah Banjarmasin.
Ada yang berasal dari Kapuas, Kalimantan Tengah dengan menggunakan satu mobil, penziarah asal Astambul naik dua bus maupun orang perorang dari Banjarmasin dan sekitarnya.
Makam Syekh Jamaluddin Al-Banjari atau lebih akrab disebut Surgi Mufti rencananya akan diusulkan dijadikan Cagar Budaya tingkat Kota Banjarmasin. Awal April 2021 lalu, sudah dilakukan verifikaai dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Banjarmasin.
Terlepas dari usulan di atas, setiap pengunjung yang berziarah ke Kubah Makam Syekh Jamaluddin Al-Banjari selalu mendengar keistimewaan kisah jika ada air, di situ ada ikan' dari warga maupun keturunan juriat Surgi Mufti.
Pasalnya, di zaman penjajahan Belanda kalimat tersebut mewakili sekaligus keistimewaan Syekh Jamaluddin Al-Banjari atau biasa disebut Tuan Guru Surgi Mufti.
Siapakah Syekh Jamaluddin Al-Banjari atau biasa disebut Tuan Guru Surgi Mufti.
Dari silsilah, Syekh Jamaluddin merupakan cicit Datu Kalampayan dari pasangan Hj Zalekha binti Pangeran Ahmad bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary. Sedangkan, dari jalur ayah, H Abdul Hamid Kusasi bin Syarifah binti Umpil bin Mu`min, seorang menteri era Kesultanan Banjar.
Berdasarkan keterangan juri kunci makam, Siti Armiziah Arsyad, Syekh Jamaluddin lahir pada 1817 M/1238 H di Desa Dalam Pagar, Martapura. Ulama besar ini merupakan cicit (buyut) Datu Kalampayan dan menimba ilmu di Tanah Suci Makkah hampir 40 tahun. Salah satu gurunya adalah Syekh Athaillah yang terkenal dengan kitabnya Al Hikam.
Setelah pulang dari Kota Suci Makkah pada 1894, Syekh Jamaluddin memutuskan jalan dakwah. Hingga, gelar Surgi Mufti disematkan Belanda pada 1899, yang berarti pemimpin suci yang wafat pada 8 Muharram 1348 Hijriyah dimakamkan di depan rumahnya, di Kampung Sungai Jingah. Jika dikonversi dalam kalender Masehi, 16 Juni 1929.
Ditinjau dari kurun waktu, rumah-rumah yang dibangun di Kampung Sungai Jingah sekitar awal dan pertengahan abad ke-19. Di era kolonial tahun 1919, Kampung Sungai Jingah menjadi bagian dari Gemente Banjarmasin, sebagai kawasan pemukiman masyarakat bumiputera asli Banjar.
Tak hanya itu, di Kampung Sungai Jingah juga terdapat beberapa pegawai (ambtenar) pemerintahan dari bumiputera dan rumah saudagar Banjar yang berbentuk kluster. Bangunan itu pun tetap lestari hingga kini.
Pulang ke kampung halaman, Syekh Jamaluddin pun menjadi penerus dakwah Islam Datu Kalampayan di masa pemerintahan Hindia Belanda. Tepat pada 1314 H, Syekh Jamaluddin diangkat menjadi mufti yang berkedudukan di Banjarmasin.
Tak heran, Syekh Jamaluddin pun dikenal dengan sebutan Tuan Mufti Banjar yang merupakan hakim tertinggi bertugas mengawasi pengadilan umum bidang syariah. Sedangkan, jabatan mufti berasal dari lembaga Mahkamah Syariah, eksis era Kesultanan Banjar yang digagas Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary.
Sebagai penghormatan atas jasa Syekh Jamaluddin, Pemerintah Hindia Belanda juga memberi nama Kampung Sungai Jingah, tempat kediaman sang mufti dengan nama Mufti Straat.

Episode Jejak Guru lainnya:

#GuruSyurgiMufti
#JejakSangGuru
Рекомендации по теме
Комментарии
Автор

Sidin ini mun kada salah adalah keponakkannya syech datu bakumpai atau syech abdussamad marabahan

nieyh