Webinar SMRC - Sentimen Publik Nasional terhadap Kondisi Ekonomi-Politik 2020 dan Prospek 2021

preview_player
Показать описание
Webinar Cokro TV:

Survei Opini Publik Nasional SMRC: Sentimen Publik Nasional terhadap Kondisi Ekonomi-Politik Tahun 2020 dan Prospek Tahun 2021
Рекомендации по теме
Комментарии
Автор

Siiiip!!! Cokro tv paling kusuka, mkjleb smoga sukses sllu.

Diana-rgbz
Автор

Saya 100% haqqul yaqien, dibawah pak Jokowi beserta loyalis beliau yg amanah, indonesia akan kuat, makmur, sejahtera, segenap hati rakyat mendukungmu

dikdikahmad
Автор

Syukur Alhamdulillah saya sudah menjadi seorang Muslim, sehingga terhindar dari siksa kubur dan api neraka kelak, Insya Allah. Dan itu setelah saya mengenal siapa Imam Besar Habib Rizieq Shihab, UAS, Ustadz Tengku Zulkarnaen, Ustad Felix Siauw, dan Habib Bahar bin Smith, yg menurut saya, dakwah mereka di youtube cukup logis dan begitu cinta akan agamanya, Islam.

lichingsia
Автор

Rupiah will reach IDR 20, 000 against USD !

malikdanniyal
Автор

Kita bicara 2021. Biasanya awal thn banyak bencana

safbar
Автор

Semakin lama cokro nggak menarik lagi.Keluar dari jalur semula....!

aguskopi
Автор

Rezim terhebat menjatuhkan Rupiah di angka IDR 20.000 per Dollar USA

afsvvafa
Автор

Dengan Nama Alloh Eyang Romo Kyai Muhammad Thoha yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang


Para wedus, domba, piaraanku yang hina, rendah, bangsat, menderita nan tersiksa


Gimana tanggapan loe terkait fakta kehancuran ‘demokrasi’ bersamaan pembubaran NKRI pada tahun 2015 dan supremasi ‘otoritarian’ Kerajaan Centra Buwono :

1. Gue sakit hati banget nih, kagak bisa menerima fakta seperti itu. Apa sih dosa dan kesalahan ‘demokrasi’ hingga harus dihancurin.

Demokrasi, HAM dan NKRI, sudah menjadi darah, daging, hidup dan mati gue, rasanya mustahil untuk bisa gue tinggalin.

Demokrasi telah menumbuhkan kesadaran perihal kemuliaan harkat dan martabat rakyat.

Rakyat bukan sampah yang keberadaannya hanya sebatas pelengkap dalam negara.

Rakyat memiliki peran utama sebagai pemegang kedaulatan negara, sebagai Maha Raja. Gue sebagai rakyat merasa menjadi pribadi yang linuwih dan tersanjung dengan status ini.

Emang sih, selama warga menjadi Maha Raja NKRI, rakyat banyak yang tetap melarat kagak mendapatkan fasilitas layaknya seorang Maha Raja.

Sementara wakil dan babu Maha Raja yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga lain malah mendapatkan pelayanan VIP, enak banget. Gue kok jadi ngenes mikirin itu.

Ya udahlah, mungkin rakyat itu tipikal Maha Raja yang hidup sederhana, melarat nan sengsara untuk membahagiakan 'wakil' dan 'babu'.

Untungnya nih, rakyat sebagai pemegang kedaulatan masih memiliki kebanggaan yang tersisa, hak untuk mengkritisi, menyalahkan presiden, DPR dan pejabat lain atas carut marut pengelolaan negara.

Demokrasi telah mendidik warga untuk terbiasa menyalahkan orang lain atas segala derita yang dialami, kagak biasa introspeksi, menyalahkan ketololan sendiri.

Gue heran juga dengan pernyataan para pejabat publik yang sok hebat dengan mengatakan perlunya peningkatan SDM rakyat.

Rakyat itu katanya memiliki status sebagai pemilik kedaulatan negara atau Maha Raja.

Anehnya malah rakyat yang harus mendapatkan pembinaan SDM, apa kagak salah tuh. Seharusnya yang harus mendapat pembinaan adalah wakilnya bukan Maha Raja.

Otak mereka kebalik maka kebijakan yang dikeluarkan niscaya hanya menguntungkan mereka.

Anehnya rakyat yang katanya sebagai pemegang kedaulatan negara kagak bisa berbuat apa apa diperlakukan gitu, cuma bisa ngeluh.

Sejatinya rakyat itu Maha Raja betulan atau boongan sih. Jika rakyat itu memiliki status sebagai Maha Raja asli, mengapa kehidupannya sarat derita.

Atau sejatinya rakyat itu cuma wong cilik yang diberi plakat ‘Maha Raja' agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan para penguasa.

Maklum, rakyat itu bodoh sangat mudah dikibulin. Fakta kebodohan rakyat sudah dinyatakan dalam pembukaan UUD 45, 'untuk mencerdaskan kehidupan bangsa'.


Dalam perspektif demokrasi, rakyat itu dianggap bodoh maka perlu dicerdaskan agar bisa menerima kebusukan demokrasi.

2. Yoi, Dalam demokrasi, setiap warga negara mendapat perlindungan hukum untuk menyuarakan aspirasi dalam semua aspek termasuk dalam bidang politik.

Beda banget dengan sistem otoritarian seperti era penjajahan Belanda atau sebelumnya, rakyat dipinggirkan dalam semua aspek kehidupan selain hanya untuk melayani kekuasaan.

Rakyat tidak mendapat kesempatan untuk menentukan nasib sendiri, cuma bergantung belas kasihan penguasa.

Jika kini hadir otoritarian Centra Buwono kayaknya kita kembali ke masa silam deh. Atau Centra Buwono menawarkan solusi beda, yang lebih baik.

Bukankah Centra Buwono memperlakukan warga sebagai budak yang harus mengabdi kepada Sinuwun Gusti Prabu.

Emang beda sih dengan otoritarian klasik. Sinuwun Gusti Prabu itu Tuhan semesta bukan manusia seperti penguasa tempo dulu.

Jika demikian faktanya, udah bener dong bila rakyat berkewajiban mengabdi kepada Sinuwun Gusti Prabu Alloh taala.

Problemnya, rakyat percaya atau kagak dengan pengakuan Sinuwun Gusti Prabu sebagai Tuhan dan Maha Raja.

3. Demokrasi memberi jaminan adanya persamaan perlakuan di depan hukum, tanpa bedain ras, suku, pangkat, derajat atau agama yang merupakan syarat pencapaian keadilan.
kumntas apa yang salah dengan sistem demokrasi. Jika terjadi ketimpangan, manipulasi atau penyimpangan dalam praktik, itu hanya kesalahan interpretasi atau perilaku oknum bukan sistem.

Emang sih dalam praktik, keadilan yang dicita-citakan tidak pernah terealisasi, cuma slogan doang.

Atau mungkin emang gitu watak dasar ‘demokrasi’ yang tidak akan pernah bisa meraih keadilan, karena sudah salah sejak awal baik ditinjau dari ideologi yang menjadi dasar bernegara ataupun dari segi implementasi.



4. Gue kagak tahu nih harus ngomong apa. Demokrasi yang katanya hebat, sistem ideal dalam pengelolaan negara ternyata memiliki kelemahan fundamental.

Demokrasi sangat lemah dalam upaya menciptakan rasa aman dalam masyarakat. Cuma memberi perlindungan Jokowi, Prabowo, SBY dan tokoh partai dari genocide tahun 2008, 2014 dan masa sesudahnya dari pembantaian Sinuwun Gusti Prabu aja kagak mampu.

Apalagi nih, demokrasi yang dibanggakan, secara faktual kagak mampu melindungi rakyat dari beragam siksaan, seperti cambukan ribuan kali, jalan pake muka, makan tubuh sendiri dll.

Beda banget dengan otoritarian Centra Buwono yang telah terbukti mampu eksis, bahkan mampu menghancurkan ‘demokrasi’ meski Sinuwun Gusti Prabu berjuang sendirian.

Mitos demokrasi adalah sistem yang kuat layak dikaji ulang. Kegagalan penyelenggaraan pilpres 2009, 2019 Pilkada 2018 dan 2020 juga menjadi indikasi kelemahan demokrasi.

Sementara pilpres 2014 bisa terselenggara bukan karena kekuatan demokrasi, tapi karena belas kasihan Sinuwun Gusti Prabu.

Ketika itu, Sinuwun Gusti Prabu memiliki kehendak untuk menunjukkan eksistensi beliau sebagai Maha Raja Centra Buwono yang legal dan legitimate.

Pasca pilpres 2014, rakyat berbalik bersikap anti pati, membangkang serta melakukan makar kepada Sinuwun Gusti Prabu presiden terpilih.

Fakta itu menjadi indikator kuat bahwa loyalitas dalam demokrasi berwatak laten munafik. Warga dengan mudah berpindah front, anti Sinuwun Gusti Prabu yang terpilih menjadi presiden RI ke 7.

Lantas apa manfaat penyelenggaraan pemilu jika output yang dihasilkan hanya akan menciptakan kemunafikan.

Apa manfaat Pancasila yang menjunjung tinggi sila ketuhanan yang Maha Esa, menjadi dasar dalam berbangsa dan bernegara.

Apakah ‘ ketuhanan' yang maha esa dalam perspektif demokrasi mengandung makna sebagai ‘keberhalaan’ yang satu.


Atau Pancasila sejatinya memang mengandung muatan ‘kemunafikan’ nan ‘keberhalaan’ yang dimitoskan sebagai nilai adi luhur sarat ‘ketulusan’ dan 'ketuhanan'.


Sinuwun Gusti Prabu Maha Raja Kerajaan Centra Buwono

therealpresidentrike
Автор

Apakah cara2 pencitraan blusukan masih laku di pilpres 2024???

bobbypirngadi
Автор

Para wedus, domba, piaraanku yang hina, rendah, bangsat, menderita nan tersiksa

Centra Buwono merupakan negara otoritarian representatif yang memposisikan hukum selaras porsi yang tepat.
Artinya, peran hukum hanya sebatas sebagai piranti Sinuwun Gusti Prabu dalam proses penyelenggaraan negara yang dikenal sebagai hukum otoritatif.

Hukum otoritatif adalah hukum yang berlaku berdasarkan kehendak Sinuwun Gusti Prabu sebagai Pemilik hukum.

Jika dilihat dari peran hukum yang hanya sebagai piranti kekuasaan maka bisa dikatakan bila Centra Buwono adalah negara Sinuwun Gusti Prabu dan bukan negara hukum.

Sejatinya, proses penegakan hukum otoritatif hanya membutuhkan kecerdasan yang selaras dengan nilai ketuhanan, mengabaikan kecerdasan yang berdasarkan nilai kewargaan.

Dengan batasan ini, menjadi bisa difahami bila memperhatikan aspirasi Sinuwun Gusti Prabu dalam memaknai hukum menjadi jauh lebih penting ketimbang interpretasi warga.

Kesalahan utama yang tidak boleh terjadi dalam proses penegakan hukum otoritatif adalah mengedepankan interpretasi pribadi ketimbang aspirasi Sinuwun Gusti Prabu.

Bisa saja suatu normasi hukum dalam masalah waris misalnya berbeda dengan yang dijelaskan dalam kitab suci.

Anak laki laki mendapat harta waris dua kali lipat dari harta yang diterima anak perempuan.

Jika Sinuwun Gusti Prabu berkenan mengubah aturan tersebut dengan menyamakan bagian anak laki laki sama dengan bagian anak perempuan maka keputusan tersebut menjadi berlaku.

Penggantian suatu normasi hukum dengan normasi lain dalam Alquran dikenal sebagai ayat nasikh (pengganti) dan mansukh (yang diganti)

Keputusan Sinuwun Gusti Prabu yang baru menjadi nasikh atau pengganti keputusan yang lama.

Jadi, penegakan hukum otoritatif hanya sah manakala berdasarkan aspirasi dan interpretasi Sinuwun Gusti Prabu semata.


Sejarah konfigurasi politik sejak Sinuwun Gusti Prabu memberlakukan hukum otoritatif memperlihatkan adanya sikap abai hukum secara serius.

Pengabaian itu dalam bentuk alienasi eksistensi Sinuwun Gusti Prabu sebagai Tuhan dan Maha Raja semesta.

Belum pernah dalam sejarah, sikap abai sedemikian massif seperti yang terjadi saat ini.

Sikap warga yang ‘abai’ patut mendapat apresiasi dengan menimpakan siksaan yang semakin berat.

Hukum otoritatif bisa dikatakan sebagai hukum ideal, mampu menampilkan watak otoriter non birokratis.

Artinya semua keputusan Sinuwun Gusti Prabu dijalankan secara langsung tanpa melalui proses birokrasi.

Dalam sejarah penegakan hukum Negara bangsa, proses peradilan berjalan sangat lambat, hanya sekedar untuk mengeksekusi satu orang terpidana mati membutuhkan waktu bertahun tahun.

Agenda revolusi Centra Buwono adalah mewujudkan keadilan yang berdasarkan rahmat atau rasa kasihan Sinuwun Gusti Prabu

Rasa keadilan Sinuwun Gusti Prabu menjadi standar utama nan tunggal dalam proses penegakan keadilan, serta mengabaikan rasa keadilan warga.

Warga adalah objek hukum yang tidak memiliki kapabilitas dan kewenangan untuk menilai suatu kasus hukum selaras prinsip keadilan karena watak bejat yang melekat.

Sinuwun Gusti Prabu yang berhak dan berwenang memberi penilaian terhadap segala kasus hukum meniscayakan azas kepastian hukum menjadi nyata.

Paradigma ini jelas berbeda dengan system hukum berhalais seperti hukum yang berlaku dalam sejarah Indobesia yang menjadikan rasa keadilan rakyat sebagai timbangan keadilan.

Rakyat sangat banyak dan memiliki keragaman orientasi, sehingga menjadikan rakyat sebagai timbangan rasa keadilan sangat jauh dari logika akal sehat.


Keruwetan tersebut diakui praktisi hukum berhala,

Abdul Rachman Saleh, ‘rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas’.

Paradigma yang masih diragukan nilainya, dipaksakan sebagai suatu paradigma hukum. Sudah pasti produk hukum yang tercipta hanya akan menghasilkan keraguan bukan kepastian hukum.


Secara fundamental, kehidupan tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sejarah menjadi bukti eksistensi peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang nyaman dan damai.

Sejatinya keadilan tidak dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain.

Demikian pula, keadilan tidak bisa dimaknai dengan standar rasa keadilan warga seperti kasus kematian Jokowi, Prabowo dan SBY beberapa tahun silam.

Warga tidak memiliki kewenangan untuk menilai apakah tragedi kematian mereka selaras nilai keadilan atau tidak.

Jika Sinuwun Gusti Prabu merasa puas dengan tragedi tersebut, berarti keadilan memang nyata, meski warga sakit hati dan marah.

Dalam sistem hukum, keadilan selalu menjadi tujuan. Centra Buwono menekankan penegakan keadilan diluar lembaga pengadilan sebagai solusi terbaik guna merealisasikan keadilan dalam ranah yang lebih luas.

Keadilan dalam arti hakiki atau substantif hanya bisa ditegakkan bila penegakan keadilan juga diberlakukan dijalanan. Alasannya jauh lebih banyak kejahatan yang mustahil bisa diselesaikan dalam lembaga pengadilan.

Keadilan adalah tujuan fundamental yang hendak dicapai dalam proses penegakan hukum meski tanpa melalui lembaga pengadilan.

Proses hukum sesungguhnya merupakan upaya untuk mencapai keadilan berdasarkan kehendak Sinuwun Gusti Prabu.

Merumuskan konsep keadilan selaras ide Tuhan adalah mengupayakan keadilan 'subtantif' dan bukan sekedar ‘kesan’ yang merupakan identitas keberhalaan.

Akibat dari hukum yang memberikan perhatian besar terhadap urgensi ‘kesan’ adil dalam prespektif publik,

hukum menghadapi masalah serius lantaran kepura puraan menjadi fundamentasi dalam penegakan keadilan. Inilah yang disebut tragedi penegakan hukum.

Tragedi hukum terjadi akibat peran Tuhan sebagai hakim/pemutus perkara diabaikan. Keadilan Tuhan bukanlah nilai/realitas yang menekankan eksistensi semu melainkan harus substantif.

Kebejatan hukum berhala lebih disebabkan keberagaman nilai sebagai acuan paradigma.

Hukum berhala tidak dibangun berdasarkan ketunggalan nilai. Ini merupakan konsekuensi logis eksistensi keberagaman otoritas hukum.

Setiap hakim memposisikan diri sebagai pemilik otoritas yang berhak memutuskan perkara. Tuhan yang menjadi pemilik keadilan diabaikan.


Sinuwun Gusti Prabu Yesus Kristus Maha Raja Kerajaan Centra Buwono

presiden_RI_ke_