filmov
tv
Kenapa Jenderal Nasution Serahkan Penumpasan G30S PKI Dipimpin Soeharto, Ini Penyebabnya
Показать описание
Kenapa Jenderal Nasution Serahkan Penumpasan G30S PKI Dipimpin Soeharto, Ini Penyebabnya
Kenapa Jenderal Nasution dalam operasi penumpasan lebih banyak ada di balik layar, ketimbang memimpin di depan operasi penumpasan? Ternyata, ada cerita dibalik itu.
Seperti diketahui, operasi penumpasan G30S PKI lebih banyak dipimpin oleh Mayjen Soeharto, Pangkostrad saat itu. Soehartolah yang ada di posisi paling depan dalam operasi penumpasan G30S PKI dari awal sampai berujung pada bubarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) pada bulan Maret 1966.
Peristiwa G30S PKI itu sendiri adalah peristiwa kelam upaya kudeta yang dilakukan komplotan Gerakan 30 September pimpinan Letkol Untung Syamsuri. Peristiwa ini meletus pada awal Oktober 1965 yang dimulai dengan penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal penting di tubuh Angkatan Darat.
Nah, Jenderal Nasution atau Abdul Haris Nasution, adalah salah satu target penculikan komplotan Gerakan 30 September bahkan target utama. Tapi sang jenderal berhasil selamat dari penyergapan pasukan penculik yang datang menyatroni rumahnya pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965.
Namun meski selamat, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani tertembak untuk kemudian meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit. Tak hanya itu salah satu Ajudannya yakni Lettu Pierre Tendean juga jadi korban. Dia dibawa komplotan penculik karena disangka Nasution. Kemudian dibunuh di Lubang Buaya, bersama dengan tiga jenderal TNI AD yang berhasil diculik komplotan Gerakan 30 September dalam keadaan hidup.
Tiga jenderal TNI AD yang diculik dalam keadaan hidup itu adalah Mayjen S Parman, Mayjen Soeprapto dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo. Sementara tiga jenderal lainnya terbunuh saat hendak diculik yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen Haryono dan Brigjen DI Panjaitan.
Jenderal Nasution sendiri setelah selamat dari upaya penculikan langsung melakukan konsolidasi dari tempat persembunyian untuk melancarkan aksi balasan terhadap komplotan Gerakan 30 September. Lalu bergabung ke Kostrad. Bersama dengan para jenderal Angkatan Darat, sang jenderal ahli gerilya itu merancang strategi operasi penumpasan. Pemimpin operasi dipercayakan kepada Jenderal Soeharto, Pangkostrad saat itu.
Lalu kenapa bukan Jenderal Nasution sendiri yang memimpin langsung operasi penumpasan? Padahal dia adalah jenderal paling senior di TNI saat itu. Kenapa Mayjen Soeharto yang notabene adalah yunior dan bawahannya yang jadi pemimpin operasi penumpasan?
Ternyata ada cerita menarik dibalik itu? Dikutip dari buku," Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jenderal," yang ditulis A Pambudi, posisi Nasution lebih senior dari Soeharto, tetapi pada hari-hari penting di awal Oktober 1965, kondisi psikologis Nasution sedang buruk. Shock yang dialami Jenderal Nasution setelah luput dari penculikan, dukacita mendalam setelah puteri kecilnya meninggal tertembak peluru gerombolan G30S, sedikit banyak mempengaruhi kecepatan reaksinya terhadap keadaan.
Pada saat-saat genting itulah, Mayjen Soeharto memegang kendali. Menurut A Pambudi, sebetulnya, Nasution masih memiliki peluang. Dalam percakapan antara Adam Malik dan Nasution pada tanggal 1 Oktober 1965, Adam Malik sempat kepada jenderal senior TNI itu.
“Sekarang hanya Anda satu-satunya jenderal yang paling senior. Pergilah ke Kostrad, ambil-alih komando. Semua orang pasti di belakang Anda," kata Adam Malik kepada Nasution ketika itu.
Akan tetapi pada saat itu Nasution menolak saran dari Adam Malik. Saat itu Nasution berprinsip tidak menjadi soal siapa jenderal yang mengendalikan komando lapangan asal bukan perwira yang berhaluan kiri atau Soekarnois. Yang penting, mereka bisa memanfaatkan momentum sebaik-baiknya untuk menghancurkan PKI. Itu yang paling penting bagi Nasution.
Sebagaimana kesaksian Adam Malik kepada David Jenkins, seorang peneliti masalah kemiliteran dengan berbagai alasan kabarnya Nasution menolak saran itu. Percakapan Adam Malik dengan Nasution itu sekurangnya mengisyaratkan bahwa lebih dari sekadar soal senioritas, untuk semua urusan yang menyangkut skenario politik AD menjelang keluarnya Supersemar, agaknya Nasution masih tetap merupakan aktor utama yang perlu diperhitungkan.
Letjen Soeharto memang seolah-olah menjadi sosok yang “kejatuhan rembulan”. Namun dari sudut pandang kepentingan Angkatan Darat, lebih mudah mengajukan sosok seperti Soeharto yang pada saat itu dikenal tidak begitu konfrontatif terhadap Presiden dibandingkan Jenderal Nasution yang sejak lama terkenal berselisih paham dengan pihak Istana.
Kenapa Jenderal Nasution dalam operasi penumpasan lebih banyak ada di balik layar, ketimbang memimpin di depan operasi penumpasan? Ternyata, ada cerita dibalik itu.
Seperti diketahui, operasi penumpasan G30S PKI lebih banyak dipimpin oleh Mayjen Soeharto, Pangkostrad saat itu. Soehartolah yang ada di posisi paling depan dalam operasi penumpasan G30S PKI dari awal sampai berujung pada bubarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) pada bulan Maret 1966.
Peristiwa G30S PKI itu sendiri adalah peristiwa kelam upaya kudeta yang dilakukan komplotan Gerakan 30 September pimpinan Letkol Untung Syamsuri. Peristiwa ini meletus pada awal Oktober 1965 yang dimulai dengan penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal penting di tubuh Angkatan Darat.
Nah, Jenderal Nasution atau Abdul Haris Nasution, adalah salah satu target penculikan komplotan Gerakan 30 September bahkan target utama. Tapi sang jenderal berhasil selamat dari penyergapan pasukan penculik yang datang menyatroni rumahnya pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965.
Namun meski selamat, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani tertembak untuk kemudian meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit. Tak hanya itu salah satu Ajudannya yakni Lettu Pierre Tendean juga jadi korban. Dia dibawa komplotan penculik karena disangka Nasution. Kemudian dibunuh di Lubang Buaya, bersama dengan tiga jenderal TNI AD yang berhasil diculik komplotan Gerakan 30 September dalam keadaan hidup.
Tiga jenderal TNI AD yang diculik dalam keadaan hidup itu adalah Mayjen S Parman, Mayjen Soeprapto dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo. Sementara tiga jenderal lainnya terbunuh saat hendak diculik yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen Haryono dan Brigjen DI Panjaitan.
Jenderal Nasution sendiri setelah selamat dari upaya penculikan langsung melakukan konsolidasi dari tempat persembunyian untuk melancarkan aksi balasan terhadap komplotan Gerakan 30 September. Lalu bergabung ke Kostrad. Bersama dengan para jenderal Angkatan Darat, sang jenderal ahli gerilya itu merancang strategi operasi penumpasan. Pemimpin operasi dipercayakan kepada Jenderal Soeharto, Pangkostrad saat itu.
Lalu kenapa bukan Jenderal Nasution sendiri yang memimpin langsung operasi penumpasan? Padahal dia adalah jenderal paling senior di TNI saat itu. Kenapa Mayjen Soeharto yang notabene adalah yunior dan bawahannya yang jadi pemimpin operasi penumpasan?
Ternyata ada cerita menarik dibalik itu? Dikutip dari buku," Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jenderal," yang ditulis A Pambudi, posisi Nasution lebih senior dari Soeharto, tetapi pada hari-hari penting di awal Oktober 1965, kondisi psikologis Nasution sedang buruk. Shock yang dialami Jenderal Nasution setelah luput dari penculikan, dukacita mendalam setelah puteri kecilnya meninggal tertembak peluru gerombolan G30S, sedikit banyak mempengaruhi kecepatan reaksinya terhadap keadaan.
Pada saat-saat genting itulah, Mayjen Soeharto memegang kendali. Menurut A Pambudi, sebetulnya, Nasution masih memiliki peluang. Dalam percakapan antara Adam Malik dan Nasution pada tanggal 1 Oktober 1965, Adam Malik sempat kepada jenderal senior TNI itu.
“Sekarang hanya Anda satu-satunya jenderal yang paling senior. Pergilah ke Kostrad, ambil-alih komando. Semua orang pasti di belakang Anda," kata Adam Malik kepada Nasution ketika itu.
Akan tetapi pada saat itu Nasution menolak saran dari Adam Malik. Saat itu Nasution berprinsip tidak menjadi soal siapa jenderal yang mengendalikan komando lapangan asal bukan perwira yang berhaluan kiri atau Soekarnois. Yang penting, mereka bisa memanfaatkan momentum sebaik-baiknya untuk menghancurkan PKI. Itu yang paling penting bagi Nasution.
Sebagaimana kesaksian Adam Malik kepada David Jenkins, seorang peneliti masalah kemiliteran dengan berbagai alasan kabarnya Nasution menolak saran itu. Percakapan Adam Malik dengan Nasution itu sekurangnya mengisyaratkan bahwa lebih dari sekadar soal senioritas, untuk semua urusan yang menyangkut skenario politik AD menjelang keluarnya Supersemar, agaknya Nasution masih tetap merupakan aktor utama yang perlu diperhitungkan.
Letjen Soeharto memang seolah-olah menjadi sosok yang “kejatuhan rembulan”. Namun dari sudut pandang kepentingan Angkatan Darat, lebih mudah mengajukan sosok seperti Soeharto yang pada saat itu dikenal tidak begitu konfrontatif terhadap Presiden dibandingkan Jenderal Nasution yang sejak lama terkenal berselisih paham dengan pihak Istana.
Комментарии