Bingung dengan 4 madzhab siapa yang harus diikuti? Ustadz DR Khalid Basalamah, MA

preview_player
Показать описание
Merasa bingung dengan 4 madzab? siapakah yang terbaik untuk diikuti? penjelasan oleh Ustadz DR Khalid Basalamah, MA

Subscribe!!
view lentera islam on:

Рекомендации по теме
Комментарии
Автор

kata 4 imam mahzab, jika ada perkataanku tidak sesuai quran dan hadis nabi maka buang. jika sesuai maka jadikan mahzabku. berpedomanlah pada quran dan hadis

Muhalif
Автор

yang jelas jangan fanatik ..kita mengikuti salah satu mazhab, trus menganggap mazhab lainnya salah.
kita ikuti salah satu mazhab bagus. tapi menyalahkan mazhab lain itu salah.

yogiky
Автор

4 imam hanya sebagai pilihan, tidak harus terpaku kpd salah satu

milsapken
Автор

siapapun yg kita ikuti ke empatnya adalah ulama besar dan telah diakui sebagai imam ahlussunnah wal jama'ah.
jadi, yang paling penting ialah saling menghormati pendapat antara ke empat imam tersebut. dan tidak perlu terlalu fanatik dengan menyalahkan pendapat imam yang tidak kita ikuti.

radiotechindo
Автор

Hilangkanlah pendapat wahabi yg ditujukan kepada Ust Khalid(Ulama Salafi) karena itu fitnah dan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan

prihatinoadi
Автор

Yang penting jangan saling menyalahkan. Saya bermazhab Syafii, saya saudara ummat muslim!

rifqymuhammad
Автор

ini baru yg menghargai berbeda pendapat

vickyprasetyo
Автор

alhmdulillah smg ustas khalid di muliakan oleh allah tdk menselisihkan atau saling menyalahkan

siksaalamkubur
Автор

untuk yang ini saya respect pada ust Khalid. berbeda tetap saudara seiman selama masih menyatakan kalimah syahadat yang sama

roomOfEmboss
Автор

konon imam 4 madzab selalu mencari hadits dan menelusuri tiap hadits tersebut, dan tiap penelusuran itulah yg menjadikan ada perbedaan pendapat, ada yg dapat hadits palsu dan ada hadits asli, karna tidak mudah menelusuri sebuah hadits..

robbyrobson
Автор

Terima kasih atas penjelasan nya.. alhamdulillah.. sgat bermanfaat untuk menambah ilmu..

miloais
Автор

saya kira tidak apa apa kita mengambil pendapat salah satu imam mazhab dalam satu hal dan mengambil pendapat imam lain dam hal lain asalkan jika kita pikir dan timbang terlebih dahulu yang mana dalilnya lebih kuat menurut kita dalam hal itu. dan juga asalkan bukan bermaksud untuk memudah-mudahkan. (sekedar memilih pendapat mana yg kita anggap lebih mudah untuk dikerjakan)

radiotechindo
Автор

Umat Islam zaman dahulu itu masih berpegang kesepakatan ulama terdahulu, bagi orang awam yang ilmu agamanya minim “wajib” taklid (madzab) terhadap ulama yang lebih tahu tentang agama – tetapi bagi yang “anti” taklid madzab silahkan saja menggali sendiri Quran Hadits itu sesuai “pendapat masing-masing”. Kesannya memang lebih ilmiyah dan “nyunnah” daripada yang hanya “taklid”. Bahkan terkesan juga lebih “berilmu” pemahaman agamanya bila dilihat dzahirnya (penampilan luar).

Taqlid madzab itu mengikuti orang yang tahu tentang agama (ulama) tanpa harus mengetahui dalil-dalil. Dalam hal ini, tak ada bedanya dengan ittiba’, karena keduanya mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adanya perbedaan secara bahasa antara keduanya. Sama seperti para shahabat mengikuti saja kepada Nabi SAW atau generasi salaf terdahulu para awam menjadi muslim juga mengikuti saja ulama yang mengislamkannya. Menurut Imam Suyuthi pengarang Tafsir al_Quran yang kitab-kitabnya banyak menjadi rujukan para ahli tafsir sesudahnya, " Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlid secara mutlaq, baik ia seorang awam maupun yang alim dasarnya firman Allah SWT: ”Bertanyalah kamu pada orang yang alim (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu.”

Bagi orang awam “taklid” (bermazhab) adalah semata untuk “memudahkan” melaksanakan ajaran agama, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumbernya langsung (al-Quran) yang dijamin untuk orang kebanyakan (awam) juga belum atau tidak memiliki kapasitas. Dengan taklid orang cukup melaksanakan tata cara beribadah dari ulama yang sudah tahu (ahlinya). Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam (apalagi zaman dahulu), bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist, kitab atau bukunya saja masih sangat terbatas (belum ada percetakan kali?). Contoh yang sangat prinsip: bagaimana mau belajar shalat, di al-Qur`an saja tidak ada dalil bagaimana cara-caranya shalat. Demikian juga di kitab-kitab hadits tidak ada dalil-dalil cara shalat itu bagaimana, syarat, rukun, dll. Tetapi melalui madzab (taklid) kita baru tahu dan bisa mengetahi tata cara shalat. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad.

Tentang orang muslim "awwam" yang dikesankan bodoh dalam pengetahuan agama itupun sebetulnya juga memiliki "kelebihan". Contoh ini pengalaman nyata dan saya kira juga tidak cuma satu atau dua contoh-contoh lainnya. Boleh percaya boleh tidak, pinter agama (ceramah, teori, mendalil dll) belum tentu “yakinnya” terhadap Allah lebih hebat dari yang awam-awam, yang kurang dalilnya itu. Ini sudah saya buktikan selama puluhan tahun sejak tahun 1980-an. Ketika mengaji kepada ulama, santri-santri atau orang-orang yang datang kepada Pak Kiai (ulama) di pondok sering dimintai doa kemudian memberi bacaan doa itu agar diamalkan --- hasilnya bisa berbeda-beda.

Tetapi ini yang sering saya lihat, orang-orang pinter, bahkan sarjana agama IAIN (sekarang UIN) tidak jarang kalah terhadap orang awam dalam hal berdoa atau mujahadah (ubudiah?)-(bukan dalam hal mendalil lho?). Kalau sudah sampai “praktek” orang-orang awam pun ternyata juga memiliki kelebihan, “amaliahnya” kuat-kuat (baca Quran, dzikir, shalat-shalat sunnat dll) kuat berjam-jam, bahkan ;menjadi menu kesehariannya (istikomah).

Mungkin karena tidak terlalu banyak berfikir ya ---sehingga konsen atau focus. Tetapi orang-orang pinter yang “banyak berfikir”, pikirannya juga macam macam, dzikir-shalat-baca Qur`an –pikirannya malah kemana-mana banyak jurusan, akibatnya kalah focus ke Allah Swt. Ilmu dan otaknya menjadi penghalang antara dirinya dengan Tuhannya.

Sebaliknya mereka yang mampu “menanggalkan” pikiran atau otaknya ketika “menghadap” Allah Swt maka yang terjadi adalah hudlur (hadir) nya hati dihadapan-Nya sehingga kuat berjam-jam bermunajat dan doanya juga bebas dari keraguan (skeptisime) otak fikirannya.

Contoh saya punya teman hanya lulusan SD (kebetulan jadi imam masjid di kampung), suatu saat dimintai doa agar penyakit lever yang diderita tetangganya sembuh, sebab dokter sudah angkat tangan dan memberi vonis hidupnya tidak lama lagi berdasarkan analisa medis dari hasil rontgen. Ketika sowan Pak kiai, teman saya yang dimintai tolong tetangganya tadi disuruh membaca Al-fatihah dan doa-doa yang beliau tulis dalam lembar kertas, agar dibaca selama tujuh hari untuk melihat perkembangannya. Satu minggu kemudian teman saya tadi menyuruh tetangga yang minta tolong tadi untuk di cek lagi ke dokter. Hasilnya betul-betul diluar dugaan, dokter tidak percaya baru satu minggu yang lalu hatinya bolong-bolong sekarang hasil rontgennya organnya jadi sempurna, bagus sekali (betul-betul tidak masuk akal, "mukjizat" kata dokter). Kenapa bisa terjadi? Sampai-sampai Sang Dokter ingin ketemu dengan Pak Kyai Ulama itu. Ternyata hanya "teman lama" ketika Pak Kyai dulu pernah kuliah di Fakultas Kedokteran UGM (Pak Kyai ini sebetulnya juga masih teman dengan Habib Luthfi yang ceramah pengajiannya di youtube ini juga banyak, bahkan ayah sang kyai pernah menjadi guru ngaji Habib Luthfi ketika kecilnya). Karena dianggap telah menyelamatkan nyawanya (si tetangga tadi), teman saya yang lulusan SD dan imam masjid di kampung tadi dianggap sebagai “bapak angkat” oleh si sakit. Ini satu fonemena, “kejadian-kejadian lain”; tidak sedikit kalau diceritain.

Kesimpulan saya dari banyak hal yang terjadi;

Pertama, walaupun sering di cap "taklid" - orang awam (apalagi yang belum banyak polusi masuk di otaknya)— memang kesannya tradisional, kolot, kurang berpendidikan tetapi hatinya masih bersih dari prasangka-prasangka. Biasanya akhlak atau hatinya juga jauh dari sifat tercela, pikirannya tidak macam-macam dan lain-lain. Hal demikian kalau “dilihat” Allah Swt “koneknya cepet nyambung” dan Allah Maha Melihat yang “sebenarnya” (tidak hanya penampilan lahir). Bukankah Allah yang dilihat hatinya? Seperti riwayat Imam Muslim ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat yang ada dalam dada (hati) kalian.”

Kedua, penyakit orang pinter itu biasanya “skeptis” (peragu) harus dibuktikan dengan nalar dulu, dan ini memang yang dikehendaki aturan akademik dalam penarikan kesimpulan kodifikasi ilmiah. Akibatnya keyakinannya pun tidak seyakin orang awam yang “tanpa reserve”. Kalau Tuhan melihat “suasana hati” di hambanya yang demikian tentu sesuai “prasangkanya”, menurut kadar keyakinannya. Seperti Hadits Qudsi, “Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku.” Tidak semua memang, banyak juga orang pandai yang memiliki keyakinan lebih walau perbandingan rata-rata memiliki kecenderungan ke arah yang pertama tadi.

Andaikata kita seyakin dimasa-masa awal muslimin, yang waktu itu akal atau rasio bukan sebagai standar ukuran kepandaian seseorang mungkin mustajabnya tidak jauh dari mereka. Contoh, tidak mungkin kan orang bisa berjalan di atas air atau udara, karena prasangka kita demikian ya sesuai prasangka yang diyakininnya, … tidak mungkin….itu. Lalu Allah Swt menurutinya..tidak mungkin.... sesuai keyakinan/ persangkaan hambanya.

Sebaliknya tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah -- yang berprasangka bahwa hal itu kecil bagi Allah bila kita meyakininya. Sama seperti sahabat Ala` bin Hadhrami ketika diminta Khalifah Abubakar ash-Shidik memimpin menumpas pemberontak di Bahrain yang harus menyeberangi lautan, terpaksa karena tidak ada kapal - kemudian berdoa kepada Allah agar bisa menyeberang dengan berjalan kaki di atas air dengan 8000 pasukan. Kata Ala` bin Hadhrami kepada pasukannya, “Seberangilah dengan menyebut asma Allah .” Sulit dipercaya akal sehat manusia (mungkin doanya juga tidak menggunakan akal ya?) pasukan muslimin berjalan diatas laut seperti halnya berjalan di darat dengan jumlah pasukan berkuda 6.000 orang dan yang berjalan kaki 2.000 orang.

Atau karena saking yakinnya atas kuasa Allah Swt (tidak membatasi kekuasaan Allah Swt.) sahabat Umar bin Khatab “berkirim surat” kepada Sungai Nil agar airnya naik sehingga penduduk Mesir tidak lagi membuat persembahan dengan mengorbankan gadis. Setelah surat dilempar (oleh sahabat Amr bin Ash), keesokan harinya bertepatan hari raya Nasrani, air Sungai Nil telah mengalir dengan ketinggian 7 meter lebih. Sejak saat itu adat mempersembahkan seorang gadis hidup-hidup ke tengah Sungai Nil berhenti.

Hal-hal di luar akal sehat (meminjam istilah orang sekarang) pada diri sahabat tidak hanya dua contoh diatas, ternyata cukup banyak sehingga sulit membedakan apa bedanya dengan “mukjizat?”. Para ulama menyebutnya sebagai “karomah” dan hal itu lazim/biasa bagi para auliya` (wali Allah, semua sahabat Nabi adalah auliya`). Dan untuk orang muslim biasa disebut “ma`unah” juga lazim terjadi walau dengan kadar yang lebih rendah. Bukankah sehabis Nabi Saw wafat yang mampu mematahkahkan istijroj-nya para ahli sihir, dukun, dll adalah hal-hal seperti diatas?

Mungkin kita yang sudah dicekoki logika dan rasionalitas Barat (sekolah-sekolah umum memang dikenalkan oleh Belanda pada zaman penjajahan) hal demikian bisa dianggap khurafat, berkirim surat kok kepada sungai, akal sehatnya ditaruh dimana?

Atau bisa saja kita menganggap berita atau haditsnya tidak terpercaya, tetapi saya lebih yakin kepada perawinya yang sudah dikenal shahih dan tertera dalam kitab-kitab terpercaya dalam Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Tafsir Fakhrur Razi, Tarikh Al-Khulafa karya Asy-Syuyuti, Thabaqat Asy-Syafi’iyah Al-Kubra karya As-Subkiy dan kitab-kitab masyhur lainnya yang sudah tidak diragukan lagi - ketimbang pendapat segelintir pemuja akal yang mengatakan dhoif hanya karena ….. “tidak masuk akal”.

Ada yang bilang, “Hari gini masih percaya cerita begituan, dasar TBC: Takhayul, Bid`ah, Churafat !!!”

HaryantoSMPPaliyanGK
Автор

pertanyaanya apakah semua muslim bisa mengetahui ini pendapatnya tidak kuat, ini lemah, ini kuat ? sedangkan ia tidak bisa bahasa arab, gak pernah belajar fiqih, gak hafal hadits ? dan apakah boleh hanya membaca terjemahan atau buku buku terus kita menggelarkan diri sebagai muthabi ?

賢治金澤
Автор

Ke 4 nya ualama besar jangan di ragukan lagi soal ke ilmuan nya tapi jika ragu karana mungkin tidak sesuai dengan ke adaan jaman sekarang dimana mereka mengeluarkan pendapat di jaman nya mereka dulu ..maka kembalilah ke pada alquran dan hadis ..jika kesulitan mencari mana yang paling baik maka liahat dan baca lah apa yang di kerjakan rosullah karan beliau sebagai contoh ber ibadah baik hubungan dengan manusia atau dengan allah jangan mencap orang macam2 wahabi lah persis lah itu lah ini lah selagi solat nya menghadap kiblat rakat nya sama haji nya sama sahadat nya sama jangan katakan mereka salah mugkin saja semua benar tapi pasti ada yang paling benar hanya allah yang punya hak memberi penilaian itu ..kita semua benar tapi kalian selalu pengen menjadi yang paling benar celaka nya kalian menghakimi orang lain dengan mangatakn mereka salah dan aku lah yang paling benar..padahal allah lah sebagi hakim kita, bukan antara manusia yang menjadi tempat nya kesalahan .lalu bertidak menghakimi pendapat orang lain keyakin akan kebenaran pendapat sendiri itu penting buat memantap kan nilai ibadah kita tapi bukan berati orang lain menjadi salah mungkin saja orang lain yang benar mungkin juga kamu yang benar..wawllah hu alam bissawab

dewaamoramor
Автор

sama gw gak fanatik sama satu mashab... karena semua imam itu tidak maksum artinya ada pendapatnya yg kurang tepat. jdi di sini gw sebagai posisi netral tidak fanatik satu mashab.

arcnologica
Автор

Buku apa itu fiqih 4 mahzab. Yg sedang di bicarakan uztd khalid.
Tolong referenai nya teman teman

jinbotol
Автор

Yang di bilang kitab oleh ustad khalid kitab apa ya? Saya pngn punya

fauzanadhim
Автор

saya mau beli kitab mazhab ke empat imam di mana ya yg bahasa indonesia

muhammadilham-ppms
Автор

boleh tau judul kitabnya apa? terima kasih

muhammadaffandaniko