filmov
tv
Bedah Editorial MI Jalan Akhir Tegakkan Muruah KPU
Показать описание
SETELAH menjabat Pelaksana tugas (Plt) Ketua KPU sejak 4 Juli 2024, Mochammad Afifuddin resmi menjadi Ketua KPU definitif periode 2022-2027, mulai kemarin. Penunjukan Afif dilakukan berdasarkan rapat pleno pimpinan KPU RI yang digelar pada Minggu (28/7) siang.
Dengan penunjukan ketua baru, sejumlah pembuktian telah dinanti dari KPU. Sebab ketua baru bukan semata untuk mengisi kekosongan jabatan dan demi kelancaran tugas-tugas KPU menuju Pilkada serentak 2024.
Jejak hitam yang dibuat ketua sebelumnya, Hasyim Asy'ari, membuat KPU juga memiliki pekerjaan rumah soal pembuktian integritas dan profesionalitas. Di samping kasus asusila yang akhirnya membuahkan pemecatan, Hasyim juga sudah membuat kontroversi sejak awal menjabat. Ia menjadi potret pejabat yang merendahkan aturan etik karena terus melakukan pelanggaran meski diberi peringatan keras.
Mulai dari kasus kedekatan dengan ketua umum partai, pernyataan yang partisan, sampai memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden tanpa berkonsultasi dengan DPR. Sederet kasus ini menunjukkan betapa bahayanya jabatan Ketua KPU di tangan pejabat yang tidak menggenggam erat etika. Dosa yang dibuatnya berdampak dahsyat pada demokrasi negeri ini sampai ke masa depan.
Jika melihat lebih jauh ke belakangan, Ketua KPU sebelum Hasyim, Arief Budiman, juga diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP). Arief terbukti melanggar etik karena mendampingi dan menemani Evi Novida Ginting Manik yang telah diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020 untuk mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.
Itu artinya, sudah dua Ketua KPU terakhir pupus jabatan dengan dipecat. Catatan kelam ini jelas tidak boleh lagi terulang untuk ketiga kalinya.
Berdasarkan rekam jejaknya, Mochammad Afiffuddin semestinya sudah tidak asing dengan tuntutan integritas dan profesionalitas KPU. Bahkan, Afif sudah lebih dulu akrab dalam soal pengawasan penyelenggaraan pemilu karena sebelum bertugas di KPU ia lebih dulu menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Pada akhir masa purna tugas di Bawaslu, ia juga menjalankan tugas
sebagai Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), ex officio perwakilan dari unsur Bawaslu RI. Dengan begitu, Afif semestinya bisa menjadi nakhoda yang mengembalikan maruah dan citra KPU.
Sebaliknya pula, sungguh ironis, jika ia sampai mengulang coreng ketua sebelumnya. Afif mesti memahami kalau sejarah kelam KPU tidak dapat diperbaiki, bahkan justru bertambah, KPU benar-benar akan dicap sebagai pengkhianat rakyat.
Pasalnya, ketika rakyat sudah bersusah payah berpartisipasi dalam demokrasi, KPU justru menjadi benalunya. Kualitas akhir penyelanggaraan pemilu menjadi amat mudah disangsikan ketika perilaku bobrok para pejabat penyelenggaranya terus terjadi.
Untuk menepis semua kekhawatiran itu, tidak ada cara lain kecuali pembuktian kinerja sejak awal menjabat. Dalam soal ini, Afif memang memberikan sinyal cukup baik dengan langsung memberikan laporan proses penyusunan Peraturan KPU (PKPU) terkait dengan logistik untuk pilkada.
Tidak hanya itu, Afif mengatakan KPU juga tengah melakukan penetapan susunan daftar pemilih sementara (DPS) di seluruh provinsi. Selanjutnya, KPU juga akan menetapkan PKPU terkait dengan kampanye para pasangan bakal calon kepala daerah.
Sederet tugas lain KPU yang juga sedang berjalan adalah penyiapan PKPU terkait dengan dana kampanye, kampanye, dan persiapan pendaftaran pencalonan yang akan berlangsung sekitar sebulan lagi. KPU juga sudah menjalin konsolidasi dengan beberapa lembaga penyelenggara pemilu, termasuk Bawaslu.
Betul bahwa pembuktian kinerja Afif masih amat panjang karena baru dimulai. Sebab itu pula, tidak hanya Bawaslu, melainkan juga rakyat, harus semakin kritis mengawal dan mengawasi sepak terjang KPU. Tidak ada celah untuk keterlambatan, apalagi pelanggaran, sekecil apa pun. Inilah kesempatan terakhir bagi Afif sebagai ketua untuk membuktikan bahwa lembaga yang dipimpinnya masih memiliki maruah di negeri ini.
#KPU #Bawaslu #HasyimAsyari
#BedahEditorialMI #DKPP #Politik #MediaIndonesia
click our website :
Follow official account MI Com di:
Dengan penunjukan ketua baru, sejumlah pembuktian telah dinanti dari KPU. Sebab ketua baru bukan semata untuk mengisi kekosongan jabatan dan demi kelancaran tugas-tugas KPU menuju Pilkada serentak 2024.
Jejak hitam yang dibuat ketua sebelumnya, Hasyim Asy'ari, membuat KPU juga memiliki pekerjaan rumah soal pembuktian integritas dan profesionalitas. Di samping kasus asusila yang akhirnya membuahkan pemecatan, Hasyim juga sudah membuat kontroversi sejak awal menjabat. Ia menjadi potret pejabat yang merendahkan aturan etik karena terus melakukan pelanggaran meski diberi peringatan keras.
Mulai dari kasus kedekatan dengan ketua umum partai, pernyataan yang partisan, sampai memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden tanpa berkonsultasi dengan DPR. Sederet kasus ini menunjukkan betapa bahayanya jabatan Ketua KPU di tangan pejabat yang tidak menggenggam erat etika. Dosa yang dibuatnya berdampak dahsyat pada demokrasi negeri ini sampai ke masa depan.
Jika melihat lebih jauh ke belakangan, Ketua KPU sebelum Hasyim, Arief Budiman, juga diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP). Arief terbukti melanggar etik karena mendampingi dan menemani Evi Novida Ginting Manik yang telah diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020 untuk mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.
Itu artinya, sudah dua Ketua KPU terakhir pupus jabatan dengan dipecat. Catatan kelam ini jelas tidak boleh lagi terulang untuk ketiga kalinya.
Berdasarkan rekam jejaknya, Mochammad Afiffuddin semestinya sudah tidak asing dengan tuntutan integritas dan profesionalitas KPU. Bahkan, Afif sudah lebih dulu akrab dalam soal pengawasan penyelenggaraan pemilu karena sebelum bertugas di KPU ia lebih dulu menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Pada akhir masa purna tugas di Bawaslu, ia juga menjalankan tugas
sebagai Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), ex officio perwakilan dari unsur Bawaslu RI. Dengan begitu, Afif semestinya bisa menjadi nakhoda yang mengembalikan maruah dan citra KPU.
Sebaliknya pula, sungguh ironis, jika ia sampai mengulang coreng ketua sebelumnya. Afif mesti memahami kalau sejarah kelam KPU tidak dapat diperbaiki, bahkan justru bertambah, KPU benar-benar akan dicap sebagai pengkhianat rakyat.
Pasalnya, ketika rakyat sudah bersusah payah berpartisipasi dalam demokrasi, KPU justru menjadi benalunya. Kualitas akhir penyelanggaraan pemilu menjadi amat mudah disangsikan ketika perilaku bobrok para pejabat penyelenggaranya terus terjadi.
Untuk menepis semua kekhawatiran itu, tidak ada cara lain kecuali pembuktian kinerja sejak awal menjabat. Dalam soal ini, Afif memang memberikan sinyal cukup baik dengan langsung memberikan laporan proses penyusunan Peraturan KPU (PKPU) terkait dengan logistik untuk pilkada.
Tidak hanya itu, Afif mengatakan KPU juga tengah melakukan penetapan susunan daftar pemilih sementara (DPS) di seluruh provinsi. Selanjutnya, KPU juga akan menetapkan PKPU terkait dengan kampanye para pasangan bakal calon kepala daerah.
Sederet tugas lain KPU yang juga sedang berjalan adalah penyiapan PKPU terkait dengan dana kampanye, kampanye, dan persiapan pendaftaran pencalonan yang akan berlangsung sekitar sebulan lagi. KPU juga sudah menjalin konsolidasi dengan beberapa lembaga penyelenggara pemilu, termasuk Bawaslu.
Betul bahwa pembuktian kinerja Afif masih amat panjang karena baru dimulai. Sebab itu pula, tidak hanya Bawaslu, melainkan juga rakyat, harus semakin kritis mengawal dan mengawasi sepak terjang KPU. Tidak ada celah untuk keterlambatan, apalagi pelanggaran, sekecil apa pun. Inilah kesempatan terakhir bagi Afif sebagai ketua untuk membuktikan bahwa lembaga yang dipimpinnya masih memiliki maruah di negeri ini.
#KPU #Bawaslu #HasyimAsyari
#BedahEditorialMI #DKPP #Politik #MediaIndonesia
click our website :
Follow official account MI Com di:
Комментарии