filmov
tv
SETRA SEBAGAI TEMPAT SUCI
Показать описание
SETRA SEBAGAI TEMPAT SUCI
#SetraSebagaiTempatSuci,
#ApakahSetraSamaDenganKuburan,
#SetraSebagaiTempatBeryoga,
SETRA dalam terminologi Hindu di Bali menunjuk pada sebuah tanah lapang yang difungsikan untuk tempat menyelenggarakan aktivitas ngaben dan juga aktivitas menguburkan mayat sebelum dilaksanakannya upacara ngaben. Setra berasal dari Bahasa Sanskerta kesetra berarti padang yang luas, seperti yang terkandung dalam istilah Kuru Kesetra dalam kisah perang Bharatayudha. Sekalipun setra difungsikan untuk mengubur mayat, setra tidak dapat dipersamakan dengan pengertian kuburan dalam Bahasa Indonesia. Dalam istilah lain, setra juga disebut semasana, yang juga berasal dari kata Sanskerta yaitu sema mengandung arti berhubungan sawa yaitu mayat dan sana berhubungan dengan kata sayana berarti berbaring. Dengan demikian semasana berarti tempat pembaringan mayat. Selain dimaknai dengan dua istilah di atas, sema juga dapat berarti pancaka yang berasal kata panca berarti lima. Dalam teks Purwa Gama Sesana dan lontar Boda Kecapi dikisahkan ketika Ida Bhatara Durga berstana di setra dan setelah mendapat anugrah Bhatara Brahma, Ida Bhatara Durga memiliki kemampuan untuk memanggil saudara empat beliau yang ada di Surga untuk turun ke kuburan dan memberikan cobaan dan penyakit kepada orang yang tidak taat beragama dan saudara empat bersama Ida Bhatara Durga berubah menjadi panca Durga, sehingga setra juga disebut pancaka. Setra juga disebut samgraha berasal dari kata sam artinya sama dan graha berarti tempat. Dengan demikian samgraha berarti tempat bagi semua orang (pada saatnya). Sema atau Samgraha juga bermakna sebagai tempat bertemunya para roh leluhur, rerencangan Ida Bhatara Durga dengan rerencangan Ida Bhatara Siwa Prajapati. Dalam konteks Bali, setra juga disebut gumi wayah, gumi tua, tegal penangsaran, dan berbagai istilah setempat menurut istilah yang berkembang di setiap wilayah. Jikalau setra itu tidak sama dengan kuburan pada umumnya, lalu dimana letak perbedaannya ? Perbedaan setra dengan kuburan pada umumnya, pertama-tama dibuat melalui proses upacara atau ritus-ritus dan upakara yang khusus. Dalam lontar indik ngewangun setra dijelaskan bahwa salah satu tahapan penting dalam membuat setra adalah pada caru pangeruwak. Salah satu sarana caru pangruwak setra menggunakan binatang angsa, binatang yang diyakini sebagai binatang suci. Itu sebabnya setra itu diyakini sebagai tempat suci karena dibangun atas dasar niat suci, sarana-sarana suci, sukat (ukuran-ukuran) suci yang diyakini akan mampu memberikan kesucian dan kesakralan setra. Atas dasar itu, setra memiliki beberapa fungsi di antaranya: pertama, setra berfungsi sebagai pralinam artinya tempat atau areal untuk mempercepat pengembalian (memprelina) unsur-unsur panca maha buta ke asalnya. Fungsi kedua, setra sebagai prayoga yaitu tempat untuk melakukan yoga samadi. Sebebutkan sebagai tempat yoga semadi, karena setra baik untuk melaksanakan ajaran-ajaran kewisesaan. Pada beberapa teks-teks disebutkan bahwa setra lah sebagai tempat yang baik untuk melakukan dan atau memperaktekan ajaran-ajaran tantrik. Dalam beberapa teks disebutkan banyak Rsi yang beryoga di setra, misalnya mpu Barang dalam teks Tantu Barang beryoga di setra. Danghyang Astapaka leluhurnya Bodawangsa juga melaksanakan yoga di setra. Tentu termasuk mereka yang hendak mempelajari dan mempraktekan aji pangliakan wajib untuk melakukan yoga di setra. Ketiga, ada juga yang mempraktekan dan atau memfungsikan setra sebagai tempat untuk memohon kesembuhan, misalnya dalam teks Usada Pemupug disebutkan ketika seseorang sakit dan setelah berusaha diobati, baik dengan cara medis maupun non medis, tidak kunjung sembuh (lara tan keneng tinamban), maka dilakukan pengelukana di tengah setra, di kaki Bhatara Siwa atau kaki kala dan nini Durga. Keempat, setra selalu berkaitan dengan mandala, selalu berkaitan dengan desa pakraman. Jika desa pakraman itu dianalogikan dengan tubuh manusia, maka pura desa dan puseh itu identik dengan kepala (ulu), sementara ketika menyebut badan maka identik dengan pura Dalem, dan ketika menyatakan perut identik dengan setra. Itu sebabnya mengapa setra itu semestinya berada di wewidangan atau wilayah desa pakraman. Di setra terdapat pelinggih yang disebut uluning setra, entah itu Prajapati, Dalem pengulun setra, atau sedahan atma. Sebagai bagian dari desa pakraman, dan bersifat suci, maka menjadi kewajiban setiap warga desa adat untuk menjadi kesucian dan fungsinya setra sesuai kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dicantumkan dalam awig-awig desa pakraman.
Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada Youtube, juga pada Dharma wacana agama Hindu.
Untuk mendapatkan video-video terbaru silahkan Subscribe
#SetraSebagaiTempatSuci,
#ApakahSetraSamaDenganKuburan,
#SetraSebagaiTempatBeryoga,
SETRA dalam terminologi Hindu di Bali menunjuk pada sebuah tanah lapang yang difungsikan untuk tempat menyelenggarakan aktivitas ngaben dan juga aktivitas menguburkan mayat sebelum dilaksanakannya upacara ngaben. Setra berasal dari Bahasa Sanskerta kesetra berarti padang yang luas, seperti yang terkandung dalam istilah Kuru Kesetra dalam kisah perang Bharatayudha. Sekalipun setra difungsikan untuk mengubur mayat, setra tidak dapat dipersamakan dengan pengertian kuburan dalam Bahasa Indonesia. Dalam istilah lain, setra juga disebut semasana, yang juga berasal dari kata Sanskerta yaitu sema mengandung arti berhubungan sawa yaitu mayat dan sana berhubungan dengan kata sayana berarti berbaring. Dengan demikian semasana berarti tempat pembaringan mayat. Selain dimaknai dengan dua istilah di atas, sema juga dapat berarti pancaka yang berasal kata panca berarti lima. Dalam teks Purwa Gama Sesana dan lontar Boda Kecapi dikisahkan ketika Ida Bhatara Durga berstana di setra dan setelah mendapat anugrah Bhatara Brahma, Ida Bhatara Durga memiliki kemampuan untuk memanggil saudara empat beliau yang ada di Surga untuk turun ke kuburan dan memberikan cobaan dan penyakit kepada orang yang tidak taat beragama dan saudara empat bersama Ida Bhatara Durga berubah menjadi panca Durga, sehingga setra juga disebut pancaka. Setra juga disebut samgraha berasal dari kata sam artinya sama dan graha berarti tempat. Dengan demikian samgraha berarti tempat bagi semua orang (pada saatnya). Sema atau Samgraha juga bermakna sebagai tempat bertemunya para roh leluhur, rerencangan Ida Bhatara Durga dengan rerencangan Ida Bhatara Siwa Prajapati. Dalam konteks Bali, setra juga disebut gumi wayah, gumi tua, tegal penangsaran, dan berbagai istilah setempat menurut istilah yang berkembang di setiap wilayah. Jikalau setra itu tidak sama dengan kuburan pada umumnya, lalu dimana letak perbedaannya ? Perbedaan setra dengan kuburan pada umumnya, pertama-tama dibuat melalui proses upacara atau ritus-ritus dan upakara yang khusus. Dalam lontar indik ngewangun setra dijelaskan bahwa salah satu tahapan penting dalam membuat setra adalah pada caru pangeruwak. Salah satu sarana caru pangruwak setra menggunakan binatang angsa, binatang yang diyakini sebagai binatang suci. Itu sebabnya setra itu diyakini sebagai tempat suci karena dibangun atas dasar niat suci, sarana-sarana suci, sukat (ukuran-ukuran) suci yang diyakini akan mampu memberikan kesucian dan kesakralan setra. Atas dasar itu, setra memiliki beberapa fungsi di antaranya: pertama, setra berfungsi sebagai pralinam artinya tempat atau areal untuk mempercepat pengembalian (memprelina) unsur-unsur panca maha buta ke asalnya. Fungsi kedua, setra sebagai prayoga yaitu tempat untuk melakukan yoga samadi. Sebebutkan sebagai tempat yoga semadi, karena setra baik untuk melaksanakan ajaran-ajaran kewisesaan. Pada beberapa teks-teks disebutkan bahwa setra lah sebagai tempat yang baik untuk melakukan dan atau memperaktekan ajaran-ajaran tantrik. Dalam beberapa teks disebutkan banyak Rsi yang beryoga di setra, misalnya mpu Barang dalam teks Tantu Barang beryoga di setra. Danghyang Astapaka leluhurnya Bodawangsa juga melaksanakan yoga di setra. Tentu termasuk mereka yang hendak mempelajari dan mempraktekan aji pangliakan wajib untuk melakukan yoga di setra. Ketiga, ada juga yang mempraktekan dan atau memfungsikan setra sebagai tempat untuk memohon kesembuhan, misalnya dalam teks Usada Pemupug disebutkan ketika seseorang sakit dan setelah berusaha diobati, baik dengan cara medis maupun non medis, tidak kunjung sembuh (lara tan keneng tinamban), maka dilakukan pengelukana di tengah setra, di kaki Bhatara Siwa atau kaki kala dan nini Durga. Keempat, setra selalu berkaitan dengan mandala, selalu berkaitan dengan desa pakraman. Jika desa pakraman itu dianalogikan dengan tubuh manusia, maka pura desa dan puseh itu identik dengan kepala (ulu), sementara ketika menyebut badan maka identik dengan pura Dalem, dan ketika menyatakan perut identik dengan setra. Itu sebabnya mengapa setra itu semestinya berada di wewidangan atau wilayah desa pakraman. Di setra terdapat pelinggih yang disebut uluning setra, entah itu Prajapati, Dalem pengulun setra, atau sedahan atma. Sebagai bagian dari desa pakraman, dan bersifat suci, maka menjadi kewajiban setiap warga desa adat untuk menjadi kesucian dan fungsinya setra sesuai kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dicantumkan dalam awig-awig desa pakraman.
Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada Youtube, juga pada Dharma wacana agama Hindu.
Untuk mendapatkan video-video terbaru silahkan Subscribe
Комментарии