filmov
tv
Bedah Editorial MI - Hilirisasi Picu Ekonomi Naik Kelas
Показать описание
MetroTV, TIDAK salah jika hilirisasi industri dikatakan harga mati. Hilirisasi menjadi pijakan agar ekonomi negara bisa naik kelas.
Sebab, hilirisasi berarti membuat nilai tambah pada komoditas. Dengan begitu Indonesia tidak akan terjebak pada perekonomian barang mentah yang harganya sangat dipengaruhi fluktuasi global.
Dari situ pula, neraca perdagangan kita akan naik dan devisa bertambah. Dampak lebih panjang, lapangan kerja juga naik dan tidak hanya di kelas keterampilan rendah atau tanpa keahlian.
Sebaliknya, tanpa hilirisasi, bukan saja kemandekan, melainkan kemunduran ekonomi jadi ancaman. Belum lagi, kita juga harus menanggung dampak eksploitasi sumber daya alam yang bisa bergenerasi.
Sebab itu, tekad pemerintah Indonesia untuk memperluas hilirisasi sangat berdasar. Selasa (24/1), Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal , Bahlil Lahadalia, mengungkapkan jika pemerintah akan mengembangkan hilirisasi ke sektor minyak dan gas, perikanan, perkebunan, kehutanan, hingga pangan.
Kesuksesan hilirisasi nikel tampak menjadi acuan pemerintah. Ekspor besi baja memang telah naik 18 kali lipat, dari Rp16 triliun pada 2014, menjadi Rp306 triliun pada 2021. Dengan hasil itu pula, ekspor ke Tiongkok yang defisit US$18 miliar pada 2017 menjadi surplus US$1 miliar pada 2022.
Keberhasilan ini sebenarnya juga buah dari keberanian kebijakan dan percepatan pembangunan infrastruktur. Kebijakan hilirisasi minerba sudah dimulai sejak 2009 yang kemudian diperkuat lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Khusus untuk nikel, di mana Indonesia memiliki 52% cadangan dunia, pemerintah mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020. Hal itu melalui Permen ESDM 11/2019 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Minerba. Lewat Permen ini pula ekspor nikel yang sedianya masih terbuka hingga 2022 menjadi ditutup lebih cepat.
Hasilnya memang pembangunan smelter tergenjot. Dari 10 smelter pada 2015, Indonesia memiliki 21 smelter pada 2021. Selain itu masih ada 7 smelter yang sedang dibangun. Namun, pelarangan ekspor nikel memang berbuah protes keras dari Uni Eropa. Protes ini dimenangkan oleh WTO pada November tahun lalu yang kemudian tengah diajukan banding oleh pemerintah.
Bagaimanapun, strategi keberanian pemerintah patut dipuji dan pantas direplikasi. Keberanian itu mampu memaksa perubahan industri hanya dalam waktu kurang dari satu dekade.
Pemerintah juga menunjukkan jika perjanjian global bukanlah jalan buntu karena selalu ada celah yang dapat dimanfaatkan. Terlebih, untuk Sumber Daya Alam yang cadangannya kita kuasai, sudah sepantasnya Indonesia mengambil kendali. Bukan selamanya berpasrah menjadi pemasok bahan mentah.
Indonesia juga harus pantang gentar karena, nyatanya, pembiayaan bukan maha sulit. Investor luar negeri sangat berminat pada proyek-proyek hilirisasi. Seperti dikatakan Menteri Bahlil, Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai naik 44,2% pada tahun lalu, dengan nilai proyek terbesar terdapat pada hilirisasi.
Begitupun, pemerintah juga harus belajar dari segala cela hilirisasi nikel. Salah satunya adalah mangkraknya beberapa smelter karena teknologi permunian yang tidak lagi sesuai (outdated). Akibatnya, kerugian bukan saja karena produksi nikel yang tidak terserap melainkan juga kerugian dari penyertaan modal negara dalam proyek smelter itu.
Penggunaan teknologi yang tepat harus menjadi perhatian pada semua sektor hilirisasi, baik kehutanan sampai pangan. Teknologi adalah nyawa hilirisasi. Tidak hanya itu, hilirisasi untuk banyak sektor lainnya juga berarti pemerintah sudah harus selesai dengan pekerjaan rumah selama ini.
Mulai dari terjaminnya pasokan listrik sampai akuisisi lahan. Bahkan, untuk sektor kehutanan, pekerjaan rumah juga menyangkut inventarisasi hutan dan sistem verifikasi legalitas dan kelestarian kayu.
Tanpa itu, ambisi hilirisasi hanya akan menciptakan masalah baru, yang bahkan bisa menyebabkan gejolak dan penolakan besar warga. Lebih jauh lagi, berbagai permasalahan itu juga bisa merugikan target-target grand lainnya, termasuk target ner zero emission pada 2060.
#BedahEditorialMI #HilirisasiPicuEkonomiNaikKelas #BedahEditorialMediaIndonesia #Metrotv #topreviewmetrotv
Sebab, hilirisasi berarti membuat nilai tambah pada komoditas. Dengan begitu Indonesia tidak akan terjebak pada perekonomian barang mentah yang harganya sangat dipengaruhi fluktuasi global.
Dari situ pula, neraca perdagangan kita akan naik dan devisa bertambah. Dampak lebih panjang, lapangan kerja juga naik dan tidak hanya di kelas keterampilan rendah atau tanpa keahlian.
Sebaliknya, tanpa hilirisasi, bukan saja kemandekan, melainkan kemunduran ekonomi jadi ancaman. Belum lagi, kita juga harus menanggung dampak eksploitasi sumber daya alam yang bisa bergenerasi.
Sebab itu, tekad pemerintah Indonesia untuk memperluas hilirisasi sangat berdasar. Selasa (24/1), Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal , Bahlil Lahadalia, mengungkapkan jika pemerintah akan mengembangkan hilirisasi ke sektor minyak dan gas, perikanan, perkebunan, kehutanan, hingga pangan.
Kesuksesan hilirisasi nikel tampak menjadi acuan pemerintah. Ekspor besi baja memang telah naik 18 kali lipat, dari Rp16 triliun pada 2014, menjadi Rp306 triliun pada 2021. Dengan hasil itu pula, ekspor ke Tiongkok yang defisit US$18 miliar pada 2017 menjadi surplus US$1 miliar pada 2022.
Keberhasilan ini sebenarnya juga buah dari keberanian kebijakan dan percepatan pembangunan infrastruktur. Kebijakan hilirisasi minerba sudah dimulai sejak 2009 yang kemudian diperkuat lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Khusus untuk nikel, di mana Indonesia memiliki 52% cadangan dunia, pemerintah mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020. Hal itu melalui Permen ESDM 11/2019 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Minerba. Lewat Permen ini pula ekspor nikel yang sedianya masih terbuka hingga 2022 menjadi ditutup lebih cepat.
Hasilnya memang pembangunan smelter tergenjot. Dari 10 smelter pada 2015, Indonesia memiliki 21 smelter pada 2021. Selain itu masih ada 7 smelter yang sedang dibangun. Namun, pelarangan ekspor nikel memang berbuah protes keras dari Uni Eropa. Protes ini dimenangkan oleh WTO pada November tahun lalu yang kemudian tengah diajukan banding oleh pemerintah.
Bagaimanapun, strategi keberanian pemerintah patut dipuji dan pantas direplikasi. Keberanian itu mampu memaksa perubahan industri hanya dalam waktu kurang dari satu dekade.
Pemerintah juga menunjukkan jika perjanjian global bukanlah jalan buntu karena selalu ada celah yang dapat dimanfaatkan. Terlebih, untuk Sumber Daya Alam yang cadangannya kita kuasai, sudah sepantasnya Indonesia mengambil kendali. Bukan selamanya berpasrah menjadi pemasok bahan mentah.
Indonesia juga harus pantang gentar karena, nyatanya, pembiayaan bukan maha sulit. Investor luar negeri sangat berminat pada proyek-proyek hilirisasi. Seperti dikatakan Menteri Bahlil, Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai naik 44,2% pada tahun lalu, dengan nilai proyek terbesar terdapat pada hilirisasi.
Begitupun, pemerintah juga harus belajar dari segala cela hilirisasi nikel. Salah satunya adalah mangkraknya beberapa smelter karena teknologi permunian yang tidak lagi sesuai (outdated). Akibatnya, kerugian bukan saja karena produksi nikel yang tidak terserap melainkan juga kerugian dari penyertaan modal negara dalam proyek smelter itu.
Penggunaan teknologi yang tepat harus menjadi perhatian pada semua sektor hilirisasi, baik kehutanan sampai pangan. Teknologi adalah nyawa hilirisasi. Tidak hanya itu, hilirisasi untuk banyak sektor lainnya juga berarti pemerintah sudah harus selesai dengan pekerjaan rumah selama ini.
Mulai dari terjaminnya pasokan listrik sampai akuisisi lahan. Bahkan, untuk sektor kehutanan, pekerjaan rumah juga menyangkut inventarisasi hutan dan sistem verifikasi legalitas dan kelestarian kayu.
Tanpa itu, ambisi hilirisasi hanya akan menciptakan masalah baru, yang bahkan bisa menyebabkan gejolak dan penolakan besar warga. Lebih jauh lagi, berbagai permasalahan itu juga bisa merugikan target-target grand lainnya, termasuk target ner zero emission pada 2060.
#BedahEditorialMI #HilirisasiPicuEkonomiNaikKelas #BedahEditorialMediaIndonesia #Metrotv #topreviewmetrotv